SEJARAH ISLAM ASIA TENGGARA

2


Materi :

1. Pengantar Kuliah
a. Pengertian Sejarah, Metode memahami Sejarah
b. Ruang lingkup Studi Islam Asia Tenggara dan Sumber Bacaan
c. Kontrak belajar

2. Sejarah pra-Islam Asia Tenggara
a. Priode Perkembangan animisme dan Dinamisme
b. Priode perkembangan Hindu dan Budha

3.Teori masuknya Islam, Islam berkembang dan mempengaruhi Kelembagaan di Asia tenggara.
a. Melalui Gujarat.
b. Melalui Persia
c. Melalui Mekkah
d. Melalui Bengali

4. Kebangkitan Islam di Asia tenggara
a. Pengertian Kebangkitan
b. Tipe-tipe kebangkitan dan sumber kebangkitan
c. Karakteristik dan fenomena kebangkitan Islam.

5.Islam di Indonesia fase Kerajaan-kerajaan pada abada XIII s/d XX M.
a. Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra
b. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
c. Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan dan Sulawesi.

6. Islam di Indonesia fase Kolonialisme
a. Islam zaman kolonial Belanda
b. Islam zaman kolonial Jepang
c. Perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan.

7. Peran ormas Islam dalam pemurnian Islam zaman kolonial.
a. Alasan-alasan pentingnya pemurnian Islam.
b. Tokoh-tokoh awal pemurnian Islam
c. NU, Muhammadiyah, Persis, dan Sarikat Islam (SI).

8. Islam di Indonesia fase kemerdekaan
a. Islam dan Orde Lama
b. Islam dan Orde Baru
c. Islam dan Orde Reformasi
9. Islam di Malaysia
a. Sejarah Masuknya Islam
b. Islam fase kemerdekaan
c. Nasionalisme Melayu di Malaysia

10. lanjutan Islam di Malaysia
a. peran UMNO memperjuangkan kebangkitan Islam.
b. Peran PAS memperjuangkan kebangkitan Islam

11.Islam di singapura
a. Sejarah Masuk dan berklembangnya Islam
b. Peranan majlis Ugama Islam Singapura (MUIS).
c. Model pendidikan Islam di Singapura

12. Islam di Brunei
a. Sejarah Masuk dan berklembangnya Islam
b. Konsep Melayu Islam Beraja (MIB).
c. Sistem legalisasi mazhab

13. Islam di Thailand
a. Masuk dan berklembangnya Islam di pattani, Naratiwat, Yalla dan Setul
b. Perjuangan Melayu muslim memperoleh otonomi.
c. Peranan Haji Sulong.

14. Islam di Filipina.
a. Sejarah Masuk dan berklembangnya Islam
b. Perjuangan bangsa Moro memperoleh kemerdekaan atau otonomi.
c. Karakteristik perjuangan Kelompok MLF, MNLF, MILF dan Abu Sayyap

15. Islam di Indocina
Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Myanmar, Kamboja, Laos dan Vietnam

Sumber Kepustakaan:

1. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara abad ke XVIII, Mizan Bandung
2. Saiful Muzani, Pembangunan dan kebangkitan Islam Asia Tenggara, LP3ES.
3. Taufik Abdullah, dkk, Tradisi Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, LP3ES
4. Harry J. Benda, Bulan sabit Matahari Terbit, LP3ES, Jakarta.
5. Husein Muthalib, Islam dan Etnisitas, LP3ES, Jakarta
6. Deliar Noer, Islam di Indonesia, 1900-1942, LP3ES, Jakarta
7. Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Thailand, LP3ES, Jakarta
8. Abd. Ghofur, Handout SIAT
9. Abd. Ghofur, Jurnal Kutub Kanah, Annida, Ushuluddin, thn 2001 s/d 2008


PENGERTIAN SEJARAH


     Sejarah adalah cabang ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa atau kejadian yang telah terjadi masa lampau dalam rentang waktu yang lama atau singkat.
1. Objek material sejarah adalah semua jenis sumber sejarah yang bisa disaksikan secara empirik sebagai kesaksian sejarah.
2. Objek formal sejarah adalah perubahan atau apa yang terjadi dalam dimensi waktu lampau.
Objek studi sejarah tidak lepas dari manusia, tetapi bagaimanapun juga manusia mempunyai keterbatasan pengetahuan tentang dirinya, terutama tentang masa lampaunya . hal ini sebagai akibat dari sifatnya yang selalu beranggapan “yang sudah, ya sudah” (lets gone be by gone). Sifat yang demikian melahirkan akibat dan tindakan yang membiarkan sesuatu yang telah terjadi berlalu tanpa catatan , sehingga kita mengalami kesukaran untuk memperoleh informasi masa lampau yang akurat. Karena itu perlu kerangka berpikir yang kritis.


 Karakteritik berfikir sejarah yang perlu diperhatikan menurut Broudle adalah :

1. Berfikir adducive, adalah dengan cara mengajukan pertanyaan kritis terhadap persoalan-persoalan dan memberikan jawabannya dengan argumen sejarah yang dikuatkan dengan bukti-bukti faktual, sehingga penjelasannya tepat dan akurat.
2. Berfikir kronologis yaitu adanya berfikir dengan kesadaran waktu (sense of time) dalam melihat gejala, apapun objeknya – Alat kontrolnya ada tiga perbedaan waktu antara masa lampau, masa sekarang dan masa akan datang – Skala penetapan waktu bisa model progresif (dari awal ke akhir), atau regresif (akhir ke awal).
3. Ketercakupan sejarah (historical comprehension) yaitu kemampuan untuk memahami pelbagai aspek lahiriyah dan batiniyah dalam menangkap gejala sejarah.
4. Kemampuan melakukan riset sejarah. Yaitu melalui empat tahap.
a. Heuristik (mencari dan menemukan data)
b. Kritik sumber – kritik ekstern yaitu pengujian otentisitas pisik. – kritik intern yaitu menguji kesahiban (realibilitas) isi informasi sejarah.
c. Sintesis dan mengintegrasikan data dalam unit analisis sejarah kritis.
d. Penulisan sejarah yang kritis.

5. Analisis isu-isu sejarah dan pengambilan keputusan.
a. mengidentifikasi isu-isu dan masalah kesejarahan.
b. menyusun bukti-bukti faktual dan mengidentifikasi faktor-faktor kontemporer yang memiliki sumbangsih terhadap masalah.
c. mengevaluasi pelaksanaan keputusan yang diambil.


      SIAT adalah mempelajari sejarah masuknya Islam di negara-negara ASEAN yang terdiri dari Negara Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Philipina, Thailand dan kawasan Indochina. Di samping itu kajian ini diperdalam untuk menelaah perkembangan Islam di negara tersebut dimulai sebelum merdeka dan sesudah merdeka. Pengkajian yang lebih mendalam difokuskan dalam perbandingan antara negara-negara yang mayoritas muslim dan minoritas muslim, yang memiliki corak dan format yang berbeda antara satu negara dengan negara lain.

 Harry J. Benda membagi wilayah Asia Tenggara ke dalam tiga wilayah kultural, yaitu :
a. Kawasan yang disebut Indianized Southeast Asia, yaitu Asia Tenggara yang telah diIndiakan (Indonesia)
b. Kawasan yang disebut Sinicized Southeast Asia, yaitu Asia Tenggara yang telah diCinakan (Vietnam)
c. Kawasan yang disebut Hispanized Southeast Asia, yaitu Asia Tenggara yang telah diSpanyolkan (Philipina)



SEJARAH PRA ISLAM DI ASIA TENGGARA


Masyarakat (nenek moyang) orang Melayu datang ke wilayah Asia Tenggara menurut para ahli sejarah digolongkan kepada :
1. Proto Melayu (melayu pertama atau melayu tua) datang lebih awal sekitar 3.000 – 2.500 SM . Diperkirakan masyarakat ini telah menjadi suku asli, suku laut, talang mamak, suku sakai, dan suku-suku lain yang hingga kini tidak mampu atau tidak mau menyesuaikan diri dengan kebudayaan melayu muda. Karena dari negeri asalnya, semula masih kebudayaan zaman batu (3.500 SM – 2.000 SM) dan tradisi hidup yang berpindah-pindah.
Mereka umumnya generasi yang masih mempertahankan paham animisme (percaya kepada kekuatan gaib pada benda-banda tidak bergerak), dan paham dinamisme (percaya kepada kekuatan gaib pada benda-benda).

Ciri-ciri kelompok masyarakat proto melayu antara lain ; sikap masyarakatnya yang sangat tertutup pada hal-hal baru juga pada orang lain; suka berpindah-pindah (nomaden); mata pencarian bertumpu sebagai pengumpul bukan pengolah; mobilitas masyarakatnya rendah; kental mempertahankan adat dan tradisi dan sistem kepercayaan yang sinkretik (bercampur baur).

2. Deutro Melayu (melayu gelombang kedua atau melayu muda), mereka datang dari daratan Asia menuju ke berbagai penjuru Asia tenggara dimulai kira-kira 300 – 250 SM. Generasi deutro melayu ini dari negeri asalnya (Austronesia) telah membawa peradaban baru bukan lagi zaman batu namun sudah memasuki tahap zaman perunggu dan zaman besi (2.000 SM – 400 SM). Sehingga ketika datang dan berbaur dengan suku-suku lain di wilayah yang baru dihuni suku terakhir ini mudah menyesuaikan diri dengan kebudayaan baru yang berkembang saat itu, termasuk ketika kedatangan penyebar agama Hindu, Budha dan Islam.

Cirri-ciri masyarakat deutro melayu antara lain : siap menerima perubahan atau hal-hal baru; berorientasi ke masa depan; mampu mengontrol dan mengendalikan alam sekitar; punya perncanaan dalam hidup; punya sikap optimisme dan tidak menyerah pada alam; dan membutuhkan informasi atau pengalaman.

 Perkembangan agama Budha pesat ketika dimotori oleh lahirnya kerajaan Melayu terbesar yaitu Sriwijaya di sumatra sekitar abad ke- 7 – 11 M. Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha lewat bahasa Sansekerta ke dalam bahasa dan budaya masyarakat melayu begitu banyak, karena berlangsung selama 500 tahun.
Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa juga punya andil besar dalam mengembangkan dua agama tersebut (lebih khusus Hindu), sehingga mampu menyatukan wilayah Nusantara dalam satu kekuasaan. Tidak heran bila agama Hindu-Budha berkembang ke sebagian besar penjuru Nusantara.

 Memasuki abad ke-12 M, Kerajaan Sriwijaya mulai surut, bila dilihat dari sudut ekonomi dan politik. Hal ini diperburuk dengan lahirnya Kerajaan Singosari (di Jawa) melakukan ekspedisi Pamalayu (1275 M). keadaan ini mendorong daerah-daerah di bawah kekuasaan Sriwijaya melepaskan diri dari pusat kekuasaan, sehingga pusat perdagangan berpindah, yaitu semakin berkembang di perairan Malaka. Pedagang Cina, India (Gujarat) bahkan Timur Tengah berdatangan untuk mengadakan transaksi dagang rempah-rempah dan hasil hutan lainnya di wilayah itu.

 Van Leur menegaskan, berdasarkan hasil perjalanan Sulaiman dan Marcopolo, diperkirakan sejak tahun 674 M ada koloni Arab yang sudah berdagang ke Barat Laut Sumatera. Meskipun jalinan dagang sudah terjadi jauh setelah Islam lahir, namun – menurut Taufik Abdullah – belum ada bukti bahwa penduduk pribumi yang disinggahi pedagang muslim itu telah memeluk agama Islam, dan kelompok yang beragama Islam masih dari pedagang muslim pendatang yang menunggu musim pelayaran tiba.

 Kerajaan Majapahit, sebagai pelanjut Kerajaan Singosari menunjukkan ketangguhan, sampai-sampai sebagian besar wilayah Nusantara mengakui dan tunduk di bawah perlindungannya, terutama saat diperintah oleh Raja Hayam Wuruk (w. 1389 M)) dan patihnya Gajah Mada (w. 1364 M). Namun sepeninggal kedua tokoh tersebut muncul goncangan dari dalam negeri (perebutan kekuasaan antara Vikramawardana dengan Wirabumi), sedangkan serangan dari luar muncul dari kerajaan-kerajaan kecil Islam yang berusaha membebaskan diri dari kungkungan pusat.

 Abad ke-13 M, mulai muncul persentuhan antara penduduk Deutro Melayu dengan pedagang muslim Arab, Persia dan India, lalu proses Islamisasi berjalan dengan mulus, hingga pada akhirnya lahirlah kerajaan Islam pertama, yaitu Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Raja pertama kerajaan ini adalah al-Malikul Saleh, sedang rajanya yang terkenal adalah Sulthan Iskandar Muda dan Sulthan Iskandar Tsani. Kerajaan Samudra Pasai mengembangkan kekuasaannya sampai ke Semenanjung Malaka, Pariaman, Tiku dan Palembang, hingga masuk ke pantai utara Jawa. Pada tahun 1511 M Malaka jatuh ke tangan Portugis hal ini menambah mata rantai penting bagi pedagang untuk pindah ke wilayah Aceh.
 Di wilayah Jawa memang sudah terjadi proses Islamisasi pada abad ke 11 – 12 M, namun berjalan dengan lamban akibat masih mendominasinya kekuasaan Majapahit. Hal ini terlihat dari beberapa bukti sejarah, seperti makam Fatimah binti Maimun di Leran Gersik Jawa Timur.


TEORI MASUKNYA ISLAM DI ASIA TENGGARA

Untuk menjelaskan masuknya Islam di wilayah Asia Tenggara, pertama sekali perlu dibahas tentang masuknya Islam ke Indonesia, yaitu Teori tentang daerah asal pembawa Islam ke Indanesia. Sejarawan Azyumardi Azra menyatakan ada tiga asal masuknya Islam ke Indonesia yaitu Mekah, Gujarat, dan Benggal. Berbeda dengan A.M. Suryanegara ia mengemukakan yaitu dari Mekah,Gujarat dan Persia.

1. Teori Gujarat : Pijnepel (1872 M) adalah orang yang mengemukakan pertama sekali, ini berdasarkan perjalanan Sulaiman, Markopolo dan Ibn Batutah, dilanjutkan dengan dukungan Snouck Hurgronye dengan alasan : pertama,kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara, kedua,hubungan dagang antara Indonesia-India telah lama terjalin; ketiga, Inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan dagang antara Sumatra dan Gujarat. Sejarawan pendukung teori ini antara lain Stutterheim, Schriekie (Indonesian Sociological Studies), Clifford Geertz (The Religion of Java), Harry J.Benda (A History of Modern South East Asia) Van Leur (Indonesian Trade and society), T.W. Arnold (The Preaching of Islam).

2. Teori Mekkah : Tahun 1958 M, muncul kritikan terhadap teori pertama, seperti tokoh Hamka dalam acara Dies Natalis IAIN ke-8 di Yogyakarta. Kemudian mendapat kritikan juga dalam seminar di IAIN medan, tentang “Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia”, di perkuat seminar yang sama di Aceh 10-16 Juli 1978 M, yang diikuti oleh Indonesia, Malaysia, India, Australia dan Prancis. Sejarawan Barat yang sependapat teori ini adalah Crawfurd (1820 M), Keyzer (1859 M), Veth (1878 M).

Alasan kuat teori ini menurut Hamka adalah bahwa Gujarat hanya sebagai tempat singgah, sedangkan Mekkah atau Mesir adalah sebagai tempat pengambilan ajaran Islam. Ia juga mendasarkan bahwa mazhab terbesar yang dianut sebagian umat Islam Nusantara adalah Mazhab Syafii dan mazhab yang sama dianut di Mekkah masa itu, alasan ini jarang diungkap sejarawan Barat masa awal.

Alasan lain dikemukakan oleh S.M.N. al-Attas bahwa sebelum abad ke-17 M. seluruh literatur keagamaan yang relevan tidak mencatat satu pengarang pun muslim India atau berasal dari India. Penulis yang dipandang Barat sebagai berasal dari India terbukti berasal dari Arab atau Persia. Termasuk penggunaan gelar Syarif, Said, Muhammad, Maulana juga identik dengan asal Mekah. Kemudian bukti lain adalah pada tahun 1297 M Gujarat masih berada dibawah naungan kerajaan Hindu, setahun kemudian baru ditaklukkan tentara muslim.

3. Teori Persia : Teori ini dipelopori oleh Hoesin Djajaningrat dari Indonesia, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia abad ke-7 M. Teori ini memfokuskan tinjauannya pada sosio-kultural di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang ada kesamaan dengan di Persia. Diantaranya adalah perayaan Tabut di beberapa tempat di Indonesia, dan berkembangnya ajaran Syekh Siti Jenar, ada kesamaan dengan ajaran Sufi al-Hallaj dari Iran Persia.

Hamka menolak teori ini dengan alasan, bila Islam masuk abad ke-7 M. yang ketika itu kekuasaan dipimpin Khalifah Umayyah (Arab), sedangkan Persia belum menduduki kepemimpinan dunia Islam. Dan masuknya Islam salam suatu wilayah, bukankah identik langsung berdirinya kekuasaan politik Islam.

 Pembawa ajaran Islam ke Wilayah Nusantara adalah terdiri dari para pedagang dan para sufi. Kemudian mereka berinteraksi dengan penduduk pribumi dalam jangka pendek (sambil menunggu musim pelayaran) untuk berpindah ke negara asal atau negara lain. Dalam jangka pangjang saudagar yang pernah datang ke Nusantara atau yang belum mulai bermukim berbabur bahkan melangsungkan perkawinan dengan penduduk pribumi. Dari perkawinan ini lahir komunitas baru, terutama di pesisir-pesisir pantai.

A.H. Johns menjelaskan sukar dipercaya bahwa para pedagang muslim sekaligus berfungsi sebagai penyebar Islam. Jika memang mereka aktif dalam penyiaran Islam, mengapa Islam baru kelihatan abad ke-12 M. padahal jauh sebelumnya (abad ke-7 dan 8 M) para pedagang sudah berinteraksi dengan pribumi. Tidak ada bukti pada abad itu terdapat penduduk pribumi dalam jumlah besar masuk Islam.

Azyumardi Azra setuju dengan A.H. Johns, tetapi dengan alasan bahwa yang menjadi penyebar Islam adalah para sufi pengembara sekaligus berprofesi sebagai pedagang yang berperan uatama dalam syiar Islam. Keberhasilan para sufi dalam syiar Islam lebih disebabkan dalam menyajikan Islam menggunakan kemasan yang atraktif, yaitu menekankan kesesuaian Islam dengan tradisi lama atau kontinuitas, ketimbang perubahan drastis dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal (Hindu dan Buddha). Di samping itu para sufi suka menawarkan pertolongan, misalnya menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita rakyat dan mengimbangi ilmu magis yang berkembang dalam masyarakat.

 Anthony Reid mengungkapkan bahwa konversi massal masyarakat Melayu kepada Islam terjadi berbarengan dengan apa yang disebutnya sebagai ‘masa perdagangan’ (the age of commerce), masa ketika Asia Tenggara mengalami ‘trade boom’ (abad 15-17) karena meningkatnya posisi Nusantara dalam perdagangan Timur-Barat. Van Leur menjelaskan terjadinya konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam karena adanya perubahan politik di India. Pada waktu itu kekuasaan Brahmana telah runtuh dan digantikan oleh kekuasaan Islam Mongol (1526). Lebih lanjut Van Leur menegaskan bahwa motivasi bupati pantai utara Jawa memeluk Islam bertujuan untuk mempertahankan kedudukannya. Pada saat ini, para bupati menjadikan Islam sebagai instrumen politik untuk memperkuat kedudukannya. Hal ini memberikan indikasi bahwa Islam pada masa itu telah tersebar ke seluruh pelosok nusantara dan telah menjadi agama rakyat. Kota-kota di wilayah pesisir muncul dan berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan, kekayaan dan kekuasaan. Pada masa inilah bahasa Melayu memainkan peranan yang penting dalam kegiatan perdagangan dan dakwah Islamiyah, sehingga menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa lingua franca di nusantara. Azyumardi Azra menyebutkan bahwa masa-masa ini tidak hanya mengantarkan wilayah Melayu ke dalam internasionalisasi perdagangan, tetapi juga kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat kawasan ini pada masa sebelumnya.

 Anthony Reid menyebutkan ada beberapa faktor penting yang menyebabkan terjadinya konversi massal masyarakat melayu kepada Islam pada masa perdagangan, yaitu :
A. Portabilitas sistem keimanan Islam. Sebelum kedatangan Islam, sistem kepercayaan lokal, yang berpusat pada penyembahan arwah nenek moyang, tidaklah portable, tidak siap pakai dimana pun, tidak berlaku dalam semua kondisi.
B. Asosiasi Islam dengan kekayaan. Bisa dipastikan, masyarakat lokal di wilayah Melayu pertama kali bertemu dan berinteraksi dengan orang Muslim pendatang di wilayah pesisir atau pelabuhan. Mereka adalah pedagang-pedagang muslim yang kaya raya.
C. Introduksi kebudayaan literasi yang relatif universal bagi penduduk wilayah ini. Faktor ini telah sering dikemukakan banyak ahli. Bahkan Al-Attas telah menyimpulkan bahwa pengenalan kebudayaan literasi ini telah memunculkan semangat rasionalisme dan intelektualisme, bukan saja di kalangan kerajaan atau Istana, tetapi juga di kalangan rakyat jelata.

 Al-Attas merangkum beberapa teori yang diajukan oleh sarjana barat tentang cepatnya Islam diterima di kasawan Asia Tenggara, teori-teori itu dapat dirumuskan sebagai berikut ;

(1) faktor perdagangan membawa Islam ke kepulauan ini.
(2) faktor pedagang-pedagang, pegawai-pegawai yang kawin dengan penduduk lokal (bukan Islam), faktor ini dipandang lebih mudah terjadinya proses pengislaman di kalangan masyarakat.
3) faktor permusuhan antara orang-orang Islam dengan Kristen yang mempercepat penyebaran Islam, terutama pada abad ke-15 dan ke-17.
(4) faktor politik yang dianggap sebagai motif dan mudahnya penyebaran Islam.
(5) faktor penghargaan nilai ideologi Islam dianggap lebih rasional bagi memeluknya.
(6) faktor otoktoni, atau keadaan di mana sesuatu itu dianggap telah ada, sejak purbakala sebagai kepunyaan atau sifat kebudayaan suatu masyarakat. Di sini faktor otoktoni diwakili oleh tasawuf yang dipandang banyak mengandung persamaan dengan kepercayaan lama. Dan faktor inilah yang dianggap memudahkan penerimaan agama Islam di kalangan masyarakat atau penduduk lokal.

 Jasa para sufi dalam mengIslamkan wilayah Melayu cukup besar, hal ini ditandai berkembangnya tarekat-tarekat di Indonesia pada abad ke-6 dan ke-7. Mukti Ali menegaskan bahwa keberhasilan pengembangan Islam di Indonesia adalah melalui tarekat dan tasawuf. Kartodirdjo menjelaskan bahwa faktor yang turut mendorong proses Islamisasi di Indonesia ialah aliran sufisme atau mistik yang melembaga dalam tarekat-tarekat. Beberapa wali mencampurkan ajaran Islam dengan mistik, sehingga timbul suatu sinkretisme. Mereka bersedia memakai unsur-unsur kultur pra-Islam dalam menyebarkan agama Islam. Lewat kesasteraan suluk dengan mudah diadakan penyesuaian tentang konsep dan gambaran mengenai hidup yang telah berakar dalam kebudayaan pra-Islam. Kalau pada tahap awal proses Islamisasi adalah fenomena kota, kemudian lewat sufisme dan tarekat penyebaran Islam meliputi daerah pedesaan. Tarekat-tarekat Qadiriyah, Naqsabandiah, Syatariyah tersebar luas di Sumatera dan Jawa.

 “Islam datang” ke Asia Tenggara menurut S.M.N. Al-Attas, Fattimi, Hasyimi dan Hamka pada abad ke-7 dan 8 M. “Islam Berkembang” abad ke-13 M. ke sebagian wilayah Nusantara. Sedangkan “Islam menjadi kekuatan politik” memasuki pada abad ke-15 M. setelah tumbangnya Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.


KEBANGKITAN ISLAM DI ASIA TENGGARA



 Kebangkitan Islam (Islamic Resurgence) menurut Candra Muzaffar merupakan suatu gerakan yang mengacu pada pandangan dari umat Islam bahwa Islam menjadi penting kembali, Islam dikaitkan dengan masa lalunya yang gemilang hingga masa lalu tersebut mempengaruhi pemikiran kaum muslimin sekarang; Islam dianggap sebagai kekuatan alternatif memperbaiki kondisi umat. Candra berpendapat bahwa kebangkitan Islam sudah dimulai sejak akhir abad ke-19 M. dan awal abad ke-20 M. dengan tokoh-tokohnya seperti Jamaluddin al-Afghani, Moh. Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain hingga berpengaruh sampai di kawasan Asia Tenggara.

 Istilah lain yang memiliki kesamaan, tetapi berbeda dalam penerapan adalah al-Tajdid atau al-Islah, yaitu pembaruan untuk merekonstruksi pemahaman terhadap aspek-aspek dalam ajaran Islam, seperti tasawuf, kalam, syariah, dan sebagainya. Tokoh-tokohnya, seperti; Syah Waliyullah (1703); Syayid Ahmad (1752-1831); Muh. Abdul wahab (1703-1787); Mohd. Abduh(1849-1905) dan Jamaluddin al-Afghani (1838-1897).

Pembaruan atau kebangkitan Islam memfokuskan perhatiannya pada persoalan keagamaan intern umat Islam. Ia tumbuh dalam lingkungan dimana praktik-praktik keagamaan “tradisional” berpengaruh di lingkungan umat seperti taklid pada pendapat ulama, praktik tarekat yang banyak mengkultuskan wali, praktik sebagian umat yang banyak mengkeramatkan benda-benda atau tempat tertentu, berkembangnya paham Islam sinkretis, khurafat, tahayul dan praktik bid’ah. Semua praktik tersebut dipandang kelompok revivalis atau pembaru (Wahabi) sebagai bid’ah dan menyimpang dari al-Quran dan Hadits. Kelompok pembaru lebih menekankan Ijtihad, agar keluar dari kungkungan yang jumud dan mandeg.

 Corak kebangkitan Islam di Asia Tenggara itu sebagian kalangan membagi ke dalam tiga model, yaitu :
1. Modernisme tahap berikutnya berubah menjadi neo-modernisme dengan tokoh-tokohnya, Jamaluddin al-Afhani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan tokoh-tokoh neo-modernisme, seperti Fazlur Rahman.
2. Revivalisme tahap berikutnya berubah menjadi neo-revivalisme dengan tokoh-tokohnya : Muhammad bin Abdul Wahab, di Indonesia dilanjutkan oleh 3 haji di Minangkabau, yaitu ; H. Sumanik, H. Piobang dan Tuanku Nan Renceh. Generasi baru atau neo-revivalisme dilanjutkan oleh kelompok salafi.
3. Tradisisonalisme tahap berikutnya berubah menjadi neo-tradisionalisme dengan tokoh-tokohnya, seperti Sayyid Muhammad Naquib al-Attas.
Karakteristik kebangkitan Islam tiga pola itu bisa dicermati berikut ini ;
Modernisme; lahir karena adanya pertemuan antara nilai-nilai Islam dan peradaban Barat; pemanfaatan akal dan paham liberalisme pemikiran yang terus dikembangkan; penelusuran kembali ilmu-ilmu filsafat baik yang bersumber dari Yunani maupun Islam termasuk berkembangnya paham muktazilah; pentingnya mengembangkan ijtihad dan menggali ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat.
Revivalisme, Pentingnya mengembangkan ijtihad agar keluar dari taklid terutama bertumpu pada fiqih; anti pada perkembangan intelektualisme yang berakar dari Barat dan kalam atau theologi (ibnu Sina); kembali kepada al-Quran dan Hadis dan kembali kepada pemahaman Islam zaman Rasul dan Khulafaurrasidin; mengapresiasi berkembangnya taswuf Suni (Amali) tetapi melarang berkembangnya tasawuf falsafi atau Syi’i (Ibnu Arabi).
Tradisionalisme, lahir karena punya pandangan bahwa manusia sekarang berada diambang kehancuran karena sudah jadi objek materi, karena itu perlu menanamkan diri dalam spirit pengalaman transendental dalam praktik keagamaan seperti tasawuf (estetik) bahkan tarekat; mengapresiasi berkembangnya tasawuf Amali (sunni) dan tasawuf Falsafi (syi’i) dan juga tarekat; mentoleransi kesesuaian antara adat istiadat yang berkembang di masyarakat dengan nilai-nilai Islam yang bersumber dari Quran; pentingnya mengembangkan ijtihad.

 Sedangkan kelompok pembaharu awal di kawasan Nusantara antara lain : Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1630), Nuruddin al-Raniri (w. 1658), abdul Rauf Singkili (w. 1694).

Hamzah Fansuri – hidup pada masa pemerintahan Alaiddin Riayat Syah (1589-1604) – dan Syamsuddin al-Sumatrani – hidup papa masa Kesultanan Syah Alam (1604-1614) – adalah Syaikh Islam atau tokoh ulama di lingkungan Kerajaan Aceh Darussalam. Keduanya adalah sama-sama ulama tasawuf yang menyebarkan tarekat Wujudiyah dan tarekat Qadiriyah.

Sebagian ulama ada yang mencap bahwa faham yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani sebagai aliran sesat. Sedangkan Abdul Aziz Dahlan dan Naquib al-Attas tetap menganggap aliran tarekat ini tidak sesat dan tetap dalam koridor ajaran Islam.

 Nuruddin al-Raniri adalah tokoh sufi tarekat Aydarussiyah, Qadiriyah dan Syaziliyah. Ia juga adalah mufti di Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Tsani (setelah regenerasi dari Sultan Iskandar Muda). Kedudukan mufti ini ia manfaatkan untuk mengkritik ajaran wujudiyah yang telah dikembangkan kepada sultan untuk membunuh dan membakar buku-buku yang dikembanagkan taraket wujudiyah, hal ini terungkap dalam buku Nuruddin, Bustan al-Salatin.

 Abdul Rauf Al-Singkili adalah pengembag tarekat Syatariyah di Indonesia. Ia dikenal sebagai tokoh ulama pembaru yang evolusioner (jalan damai) dengan meluruskan fatwa Nuruddin, dan dengan tidak melakukan tindakan pembunuhan pada kelompok paham wujudiyah. Bahkan ia menjadi mufti di bawah kesultanan yang dipimpin seorang ratu secara berurutan yaitu ; Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675); Nur Alam Naqiatuddin; Zaqiyatuddin dan Qumala Dewi. Kepiawaian Abdul Rauf mampu menghapus aliran sesat tanpa menggunakan kekerasan, dengan cara menyadarkan penganutnya.

 Bila melihat gerakan kebangkitan Islam abad ke-20 M, agak berbeda format gerakannya, bukan lagi terfokus pada merekonstruksi sistem pemahaman ajaran Islam, tetapi salah satunya kelompok neo-revivalis, suatu gerakan yang muncul sebagai reaksi para modernis klasik yang menurut hemat mereka telah terbaratkan (westernized). Dalam beberapa hal tuduhan itu ada benarnya bila mengacu pada pemikiran beberapa tokoh modernis, seperti Ahmad Khan (Indo-Pakistan) dan Thoha Husein (Mesir). Mereka (modernis) seringkali menafsirkan al-Quran dalam konteks hanya untuk membenarkan pandangan atau temuan barat. Kemudian mengklaim bahwa apa yang ditemukan barat, khususnya di bidang Sain dan teknologi punya dasar kuat dalam Islam. Kelompok modernis muslim klasik sering dipandang apologetik dalam memahami Islam dan hubungannya dengan peradaban barat.

Kelompok neo-modernisme yang dimotori oleh Fazlur Rahman, menentang paham kelompok neo-revivalisme dengan mengusung model baru, yaitu meneruskan semangat modernisme dengan gaya baru. Rahman berpendapat bahwa persoalan kontemporer yang dihadapi umat harus dicari penjelasannya dari tradisi, dari hasil ijtihad para ulama sebelumnya hingga sunnah, yang merupakan hasil penafsiran al-Quran. Bila dalam tradisi tidak ditemukan jawabannya sesuai dengan tuntutan masyarakat kontemporer, maka langkah selanjutnya adalah menelaah konteks sosio-historis dari ayat al-Quran yang dijadikan sasaran ijtihad.

Dari pemaparan sekilas tentang pembaharuan atau kebangkitan Islam muncul masalah pokok, yaitu : Pertama, siapa yang memprakarsai kebangkitan itu; Kedua, apa karakteristik yang dominan; Ketiga, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan munculnya kebangkitan itu; Keempat, apa reaksi yang muncul dari kebangkitan, dan Kelima, apa arti penting kebangkitan itu bagi umat Islam.




ISLAM DI INDONESIA FASE KERAJAAN
ABAD XIII S/D ABAD XX


 Fakta sejarah telah membuktikan bahwa di Sumatra Utara (Aceh sekarang) pada paruh kedua abat 13 M para penguasa kerajaan Samudra Pasai telah menganut Islam. Kerajaan ini terus berkembang hingga akhirnya dirubah dengan nama kerajaan Banda Aceh Darussalam, berkembang pesat hingga memasuki perlawanan dengan penjajah Belanda dan Jepang. Kerajaan ini adalah dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara.

Berbeda dengan di Jawa khususnya Jawa Timur di mana pada abad ke 13 penguasa raja masih beragama Syiwa dan Buddha di Singasari dan Kediri, yang pada akhirnya menjadi ibu kota Majapahit. Meskipun demikian pada abad itu pemeluk Islam yang menetap di sana besar kemungkinan sudah ada, mengingat jalan perdagangan laut yang menyusuri pantai laut Sumatera melalui laut Jawa berkembang terus. (De Graaf : 18).

Salah seorang penyebar Islam terkenal dan tertua diantara para wali adalah Raden Rahmat putra seorang da’i Arab di Campa dari Ngampel Denta (Surabaya). Raden Rahmat kemudian diangkat sebagai pemimpin para wali dengan gelar Sunan Ampel. Disebutkan juga penyebar Islam kuno lain yaitu Maulana Iskak di Blambang ; Jumadi Kubro di mantingan ; Nyampo di Domas; Dada Petak di Gunung Bromo (mereka semua bersaudara). Sedang Maolana Iskak memiliki anak Sunan Giri. Bersamaan itu pula terdapat makam wali lain Maulana Malik Ibrahim di Gersik tahun 1419 M, ia disebutkan punya peran penting dalam proses Islamisasi di tanah Jawa termasuk beberapa kali berusaha membujuk raja Hindu-Budha Majapahit Vikramavardana berkuasa (1386-1429M) agar masuk Islam (Pigeaud : Literature ; 783 dan Azyumardi : Jaringan Ulama; 30).

 Abad ke-17 M. Islam telah tersebar ke sebagian besar penjuru Nusantara. Khusus di Aceh, tokoh-tokoh atau ulama penyebar Islam di kerajaan Aceh Darussalam yaitu ; Hamzah Fansuri ; Syamsuddin al-Sumatrani (w.1630) ; Nuruddin ar-Raniri (w.1658) dan Abdul Rauf Singkili (w. 1694). Dari wilayah Kerajaan Palembang bisa disebut tokoh utama, yaitu Abdul Samad al-Palimbani (w.1778), termasuk tokoh Syihabuddin bin Abdullah Muhammad ; Kemas Fakhruddin ; Kemas Muhammad bin Ahmad dan Muh. Muhyiddin bin Syihabuddin.

Di Kalimantan Selatan penyebar Islamnya Muhammad Arsyad al-Banjari dan Muh. Nafis al-Banjari. Di Sulawesi (kerajaan Gowa) terdapat Muhammad Yusuf al-Maqossari dan Abdul Wahhab al-Bugisi. Dari Batavia (Jakarta) terdapat Abdurrahman bin al-Masri al-Batawi dan dari Pattani (Thailand Selatan) ada Daud bin Abdullah al-Fatani. Di Kesultanan Sulu Philipina penyebarnya adalah Syarif Aulia Karim al-Makhdum dari Malaka (1380), berdasarkan sislsilah kerajaan Sulu, ia adalah ayahnda dari Maulana Malik Ibrahim – salah seorang wali songo – (Gajah Nata ; 174).

 Di Kerajaan Aceh Darussalam puncak kemajuan dan kemakmuran pada masa pimpinan Sultan Iskandar Muda, terutama dalam bidang agama, ekonomi dan perdagangan di timur barat. Di bidang politik, kerajaan ini melakukan ekspansi kekuasaan hingga ke Deli (tahun 1612 M), Johor (1613 M), Bintan (1614 M), selanjutnya secara berturut-turut menaklukkan Pahang (1618 M), Kedah (1619 M), dan Nias (1624/1625 M). demikian dijelaskan oleh Nuruddin ar-Raniri dalam karyanya Bustanus al-Salatin.

Bidang keagamaan, puncak kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam menurut Nuruddin ar-Raniri terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sultan mengangkat Hamzah Fansuri sebagai mufti dan penasehat kerajaan, kemudian digantikan oleh Syamsuddsin al-Sumatrani. Pada masa itu Nuruddin ar-Raniri masih tinggal di Pahang (kini negeri bagian Malaysia) menggambarkan bahwa sultan adalah sosok yang berusaha dengan sungguh-sungguh menegakkan kehidupan agama, memberantas minuman keras, perjudian, menjalankan hukum agama sesuai dengan fatwa mufti, memberi sedekah kepada fakir miskin dan membangun banyak masjid, termasuk memberi dukungan penuh para ulama untuk mengadakan pembaruan pemikiran keagamaan dan menyebarkan dakwah Islam.

 Dalam abad ke-17 M. tersebut di Aceh muncul empat orang ulama besar sebagai pemrakarsa pambaharuan pemikiran Islam dan menjadi mufti atau penasehat sultan. Ulama tersebut adalah :
1. Hamzah Fansuri ; ia menjadi mufti pada saat Sultan Alaidin Riayat Syah memerintah antara tahun 1589-1602 M.
2. Syamsuddin al-Sumatrani (w.1630) ; ia menjadi mufti pada saat Sultan Iskandar Muda memerintah tahun 1603-1637 M.
3. Nuruddin ar-Raniri (w.1658) ; ia menjadi mufti pada saat Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Tsani memerintah tahun 1637-1641.
4. Abdul Rauf Sinkili (w. 1694). ia menjadi mufti pada saat Sultanah Safiatuddin Tajul Alam; Nurul Alam Naqiatuddin; Zaqiatuddin dan Qumala Dewi memerintah antara tahun 1641-1675 M.




ISLAM DI INDONESIA FASE KOLONIAL
(BELANDA DAN JEPANG)


 Umat Islam di Indonesia pada fase penjajahan Belanda dan Jepang mengalami penderitaan yang luar biasa berat. Hal di sebabkan oleh kebijakan penjajah yang di berlakukan bagi masyarakat pribumi. Kebijakan yang di buat kedua penjajah ini terdapat perbedaan.

Kebijakan yang di buat Belanda lebih bersipat diskriminatif, yaitu melihat status sosial dalam masyarakat, sering menekan bahkan kadang berusaha menghapus atau menyingkirkan. Diantara kebijakan diskriminatif yang di Buat Belanda yaitu adanya Asosiasi pendidikan; Ordonasi guru; ordonasi kebudayaan, Haji, ordonasi sekolah liar, ordonasi perkawinan dll.

Menurut Syafii Ma’arif kebijakan Belanda ada dua prinsip. Pertama, bersikap toleran, netral dan akomodatif apabila aktifitas yang dilakukan umat Islam yang berkaitan dengan hal keagamaan, peribadatan, sholat, haji, puasa, zakat dll. kedua, menggunakan kekerasan dan kekuatan militer apabila umat Islam melakukan aktifitas yang menyentuh masalah politik baik di area sosial kemasyarakatan atau pendidikan. Dalam hal ini Belanda berusaha memisahkan “aktifitas agama” dan “aktifitas politik”. (A. Syafii Ma’arif : Islam Kenegaraan…, 20).

 Kebijakan yang dibuat Jepang dalam kaitanya dengan umat Islam lebih bersifat longgar dan demokratis. Karena tujuan utama mereka adalah berambisi untuk memenangkan peperangan menguasai Asia Raya, dikenal slogan (Nipon cahaya Asia; Nipon pelindung Asia dan Nipon pemimpin Asia). Jepang menyebut dirinya sebagai “Saudara Tua” rakyat Indonesia. (Syafii Ma’arif; 97). Dalam hal-hal tertentu pemuka umat Islam diberikan kekuasaan dan keleluasaan mengembangkan agamanya; menyamakan jenis sekolah untuk mendapatkan bantuan, termasuk kebijakan yang berkaitan dengan Kantor Urusan Agama (shumuka); Masyumi; PETA; dan Hizbullah.

Namun dari realitas yang terjadi, kebijakan itu ternyata memiliki kesamaan tujuan yaitu bagaimana mengekploitasi dan mempolitisir umat Islam dan kekayaan bumi Nusantara.

 Kebijakan Belanda yang diterapkan di Indonesia antara lain :
1. Asosiasi Pendidikan (kebudayaan) : artinya semua peraturan penjajah di daerah jajahan menyerupai dengan di negeri penjajah, atau pembudayaan budaya penjajah melalui jalan pendidikan dan pengajaran.Tujuan asosiasi ini untuk mempererat ikatan antara negeri jajahan dengan negeri penjajah. Politik ini berupaya menyatukan masyarakat Indonesia (pribumi) dan Belanda (non-pribumi) bisa hidup berdampingan tetapi pribumi yang ter-Belanda-kan. Kebijakan ini dicetuskan oleh ilmuan Belanda Snouck Hurgronye.

2. Ordonansi Guru : artinya Peraturan Undang-Undang yang mengatur ketentuan tentang guru diterbitkan sebanyak dua kali tahun1905 dan 1925 M.
1. isi ordonansi guru 1905 : a). guru agama harus meminta izin mengajar secara tertulis pada bupati; b) izin itu bisa diberi bila guru tersebut dinilai baik karena mengungkapkan sifat pendidikan, membuat daftar hadir siswa, modelnya sesuai kehendak Belanda. C). Guru bisa dihukum penjara 8 hari/f.25 bila mengajar tanpa izin atau lalai mengirim daftar materi dan siswa. d). izin bisa dicabut bila guru melanggar peraturan.
2. Isi Ordonansi guru 1925 : tetap memberlakukan isi ordonansi pertama, dengan tambahan atau perubahan bentuk perizinan tertulis menjadi pemberitahuan saja, bila guru lalai membuat laporan atau memberitahu maka dihukum 1 bulan kurungan atau denda f. 22. (f=frank gulden)

3. Ordonansi Sekolah Liar : dikeluarkan tahun 1932 yang isinya a). lembaga pendidikan sebelum memperoleh izin tertulis dari pemerintah tidak dibantu biayanya oleh pemerintah dan tidak dibenarkan memulai aktivitasnya. b). hanya lulusan sekolah pemerintah atau sekolah swasta bersubsidi yang dinilai baik oleh pemerintah berhak mengajar di sekolah ini. c). ordonasi sekolah liar tidak berlaku bagi sekolah agama. (Aqib Suminto :61).

4. Ordonansi Haji 1859 : Belanda mengeluarkan aturan haji dengan diperketat persyaratanya, karena mereka khawatir akan banyaknya pemberontakan lagi yang dilakukan umat Islam melawan Belanda tokohnya didalangi oleh para haji seperti: pemberontakan di Kalimantan Selatan 1859; pemberontakan petani Banten 1888; pemberontakan Haji Ripanghi di Jawa 1859. Tetapi ordonansi haji ini jelas bertolak belakang dengan sikap Belanda yantg netral agama.

 Sebelum melakukan invasi melawan Belanda, sebenarnya telah ada upaya pihak Jepang mendekati umat Islam, seperti tahun 1935, melalui konsulatnya mereka memprogandakan pendirian majalah Islam; mengirim 4 orang mahasiswa Jepang, memperdalam Islam di Arab dan Mesir; 1938 pendirian mesjid besar di Jepang dan Perserikatan Islam Jepang, organisasi ini melakukan aktivitas perdananya dengan mengundang orang Islam di seluruh dunia menghadiri pameran Islam di Tokyo dan dari Indonesia dihadiri oleh MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia).

Kebijakan Jepang yang pernah diterapkan di Indonesia setelah invasi militer atau penaklukan Belanda tanggal 8 Maret 1942 antara lain :
1. Kantor Urusan Agama : dibagi dua ; a). Shummuka bertugas mempelajari aktifitas dan upacara keagamaan, hukum Islam dan kebudayaan Islam. b). Kantotuka, bertugas mengurus tempat ibadah dan mengatur hubungan dengan pemimpin agama. Lembaga ini juga berfungsi mengangkat pegawai bidang agama, mengawasi buku-buku agama. Tetapi seluruh pegawainya adalah orang Indonesia (pribumi), kepala kantor pertama adalah Kolonel Horie, dan setelah itu dipimpin oleh DR. Hosen Djajadiningrat.

2.Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) federasi yang dibentuk oleh para ulama dibawah kontrol dan dukungan Jepang tanggal 1 Desember 1943. Masyumi dibentuk karena Jepang telah membubarkan organisasi ulama MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) Oktober 1943 karena alasan aktivitasnya menentang pemerintah kolonial Belanda atau Jepang, akhirnya dikhawatirkan membelokkan “anak panah” ke Jepang sendiri. Pemimpin pertamanya, yaitu K.H. Hasyim Asy’ari dari NU. meskipun sebagian umat Islam memandang negatif akan Masyumi saat Jepang berkuasa, namun keberadaannya sangat diperhitungkan pada akhir pendudukan Jepang dan era kemerdekaan sebagai partai politik besar.

3. PETA : pembentukan Pembela Tanah Air (PETA) resmi berdiri tanggal 3 Oktober 1943 atas dukungan penuh Jepang. Pemimpinnya banyak dari kalangan Islam, baik dari Daidanco (Komandan batalion); Cudanco (Komandan Kompi); maupun Syuydnco (Komandan Pleton). Ketua Daidanco adalah M. Kasman Singodimejo (Muhammadiyah).

Tujuan pembentukan PETA ini bukan untuk menciptakan persatuan, tetapi agar kerjasama Jepang dengan umat Islam lebih mudah, dengan kata lain, Jepang telah memiliki tentara pribumi. Tujuan pembentukan itu adalah menanamkan semangat Nipon; menumbuhkan loyalitas ulama kepada Jepang; meyakinkan kebencian ulama pada sekutu; perang Asia Timur Raya adalah perang suci; dan menumbuhkan keyakinan Jepang dan Indonesia adalah satu nenek moyang dan satu ras (Ahmad Mansur Suryanegara : 261).

4. Hizbullah : (tentara Allah) lahir September 1944 atas dukungan dan izin Jepang. Hizbullah ini adalah unit militer bagi pemuda Islam yang direncanakan Jepang sebagai korps cadangan bagi PETA tetapi di bawah naungan organisasi Masyumi.
Tujuan pembentukan ini karena Jepang mulai mengalami kekalahan, baik dalam negeri maupun adanya pemberontakan dari pondok pesantren. Ketua pertama adalah Zainal Arifin (NU) yang lain Mohammad Roem; Cokroaminoto;Prawoto dan Yusuf Wibisono. Namun pada akhir pendudukan Jepang, PETA dan Hizbullah ini terlibat langsung dengan sengit melucuti tentara Jepang, sebelum akhirnya menyerah kalah. Dua lembaga ini setelah merdeka melebur dengan TNI.


PERANAN ORMAS ISLAM DALAM PEMURNIAN ISLAM
DI INDONESIA ZAMAN KOLONIAL

Untuk membahas bagaimana peran organisasi Islam dalam kiprahnya menyebarluaskan pemurnian ajaran Islam, maka dibawah ini dikemukakan terlebih dahulu alasan perlunya pemurnian Islam yang menjadi perdebatan antar kelompok ormas tersebut antara lain :

1. Merebaknya pemahaman agama yang bersifat taklid yaitu penerimaan fatwa dan amal perbuatan yang diakui sebagai sesuatu yang tidak dapat berubah lagi di kalangan umat Islam. kemudian ada anggapan dari sebagian ulama bahwa pintu ijtihad sudah tertutup sehingga kreatifitas umat Islam terbelenggu. Ijtihad adalah usaha dan daya yang sungguh-sungguh untuk menemukan tafsir atau pendapat tentang suatu persoalan.

2. Dikalangan umat Islam sedang berkembang tarekat-tarekat seperti Naqsabandiyah, Syatariyah, Kadiriyah, Sanusiayah dll. Masing-masing tarekat itu memliki jaringan sampai kepada seorang Syekh di Timur Tengah. Sehingga dalam praktek ajarannya sampai pada pengikutnya dilakukan meniru apa yang dilakukan dan diajarkan gurunya, tanpa mengacu pada sumber –sumber lain atau guru/mursid lain. Tarekat atau jalan itu dimaksudkan akan mampu memberikan jalan atau cara bagi pengikutnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kedudukan seorang guru/mursid sangat penting. Kedudukan itu tergambar dalam berwirid yang mengharuskan si murid mengenang Tuhan dengan mengingat sang Guru. Sehingga guru bertindak sebagai perantara. Ini merupakan yang bertentangan dengan Islam menurut versi pembaharu, karena dalam Islam tidak mengenal perantara (wasilah) dalam berhubungan dengan Allah.
3. Masalah lain yang menjadi perdebatan antara kelompok pembaharu dengan kelompok tradisional adalah masalah Ushalli, bagi kelompok tradisional itu perlu disebutkan, sedangkan bagi kaum pembaharu tidak perlu disebutkan atau dilafalkan.
4. Masalah talkin mayit, bagi pembaharu talkin itu adalah bid’ah dan bagi kaum tradisi talkin itu dibolehkan.
5. kemudian perdebatan lain adalah sekitar bacaan basmalah dalam sholat perlu dikeraskan atau dipelankan; masalah Qunut menurut pembaharu nabi hanya melakukan disaat krisis perang; sedang kelompok tradisi mengikut mazhab Syafii yang menunnahkan dalam shalat subuh; kemudian masalah tarawih; Dua azan dan zikir.


Adapun tokoh-tokoh pembaharu paling awal pada zaman itu adalah Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabui. Ia adalah imam besar masjid Al-Haram di Mekah. Ia tidak pernah pulang ke kampung halaman karena sistem pertama, adat warisnya yang tidak mau berubah. Kedua, menentang sistem tarekat yang berkembang saat itu. Pemikiran Ahmad Khatib banyak disebarluaskan oleh para muridnya seperti Syeikh Muhammad Jamil Djambek; Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul); Haji Abdullah Ahmad; KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah); Sulaiman Ar-Rasuli dan KH Hasyim Asy’ari (Pendiri NU). Dua tokoh terakhir masih menganut sistem tradisi atau tidak sejalan dengan kelompok pembaharu termasuk dengan gurunya, karena liberalnya Ahmad Khatib dalam memberikan materi pada muridnya agar menggali dari berbagai sumber.

Sarana penunjang bagi tersebarnya pemurnian Islam adalah para tokoh pembaharu melanjutkan pemikiran Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dkk, dengan cara menyebarluaskan majalah Al-manar dari Mesir. Disamping itu diterbitkan juga di kota Padang Sumbar majalah dua mingguan Al-Munir sejak tahun 1911 M sebagai gerbong penyebaran pemikiran pembaharu. Tujuannya adalah untuk meluruskan pemahaman agama tentang mazhab, problem fikih, menerjemahkan artikel al-Manar dll.

Adapun Organisasi kelompok tradisional adalah Nahdhatul Ulama; Perti dll. Sedangkan organisasi pembaharu adalah Muhammadiyah; Persis; Sarikat Islam dll.
1. Muhammadiyah
Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 M, oleh KH. Ahmad Dahlan atas saran dari murid-muridnya yang tergabung dalam Budi Utomo, mengingat ia semula adalah sebagai guru di sekolah Budi Utomo. Budi Utomo adalah ormas yang didirikan oleh DR Wahidin Sudirohusodo di Jakarta 20 Mei 1908 (tanggal ini dijadikan tonggak kebangkitan Nasional RI).

Guru terkenal Ahmad Dahlan saat ia belajar di Mekkah adalah Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabaui, Ulama sekaligus Imam Besar masjid Makkah. Karena itu pengikut dan organisasi Muhammadiyah di luar Jawa banyak bermukim di Sumatra Barat, diantara tokohnya adalah Syeikh Muhammad Jamil Jambek dan Haji Rasul.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan Muhammadiyah pada prinsipinya bukan hanya inisiatif pemimpinnya saja, tetapi juga banyak mencontoh model misionaris Kristen seperti menolong orang-orang fakir miskin, menolong anak terlantar, yatim piatu, penggalangan zakat dan membuat kepanduan (hizbul wathan/pramuka). Selain itu Muhammadiyah juga mendirikan Aisyiah ormas wanita untuk memberikan penyuluhan bagi ibu-ibu dalam mendidik anak, pengembangan karir dll.


2. Persatuan Islam
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung tahun 1920 M ketika di daerah-daerah lain pada dasarnya telah lebih dulu maju dengan ormas lain. Keterlambatan ini merupakan cambuk bagi Persis untuk mengejar ketertinggalan. Ide pendirian organisasi ini adalah dari tokoh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Asal mula yang melatarbelakangi ormas ini lahir adalah karena ada pertikaian muncul dalam hal keagamaan yang di kupas di Al-Munir dan al-Manar, serta makin maraknya paham komunis yang mampu memecah belah Sarikat Islam. Persis lahir tidak memberikan penekanan bagi kegiatan organisasi, perkaderan dan membuka cabang di daerah-daerah serta memperbanyak anggota sebagaimana Muhammadiyah dan NU.

Pengaruh Persis besar karena cita-cita dan pemikirannya disebarkan lewat media pamflet, majalah (Al-Muslimun); tabligh; khotbah; sekolah-sekolah dan buku-buku. Referensi buku atau materi itu banyak menjadi acuan bagi guru; mubaligh dari Al-Irsyad, Muhammadiyah dll. Dalam kegiatan tersebut Persis beruntung mendapatkan dukungan dari tokoh penting yaitu Ahmad Hasan (priode berikutnya ia menjadi gurunya Persis) dan dukungan dari M. Natsir ( di kemudian hari ia menjadi penggagas berdirinya Masyumi).

3. Sarikat Islam (SI)

Didirikan di Solo pada tanggal 11 November 1912 M. Semula organisasi ini tumbuh dari organisasi Sarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh Tamar Jaya dan Haji Saman Hoedi tanggal 16 Oktober 1905 M. Alasan berdirinya SI adalah pertama, kompetisi yang meningkat di bidang perdagangan batik pribumi (muslim) dengan etnik Cina. Kedua, sikap superioritas orang-orang Cina terhadap pribumi sehubungan dengan berhasilnya revolusi Cina tahun 1911 M. ketiga, munculnya tekanan dari orang Indonesia terutama dari kalangan bangsawan yang banyak mendapat hak istimewa dari Belanda, tidak mengindahkan hak-hak rakyat biasa; rakyat dilarang memakai pakaian tertentu; atau melalui jalan-jalan tertentu.

Sarikat Islam pada fase selanjutnya memperoleh dukungan tokoh-tokoh penting yang mengendalikan organisasi seperti Haji Oemar Said Cokroaminoto. Ia termasuk tokoh yang sangat radikal dalam membela hak-hak rakyat yang ditindas Belanda, Cina dan kaum bangsawan. Kedua, Haji Agus Salim masuk SI tahun 1915. ia tokoh penting setelah HOS Cokroaminoto. Selain itu ada juga Abdul Muis. Dua tokoh terakhir mampu membentengi SI dari penetrasi paham komunis yang telah merasuki sebagian besar organisasi lain termasuk SI.



Perjuangan SI diwujudkan dalam bentuk program kerja yang intinya menolak sistem kapitalisme sebagaimana terjabarkan dalam berbagai bidang :
Pertama, bidang politik; menuntut berdirinya dewan daerah; perluasan hak volksraad (dewan rakyat) untuk menjadi lembaga legislatif dan menyampaikan aspirasi rakyat; disamping itu SI juga menuntut dihapuskannya kerja paksa dan sistem izin ketika mau bepergian naik haji.
Kedua, bidang pendidikan, SI menuntut penghapusan peraturan yang diskriminatif untuk penerimaan murid di sekolah-sekolah, perbaikan lembaga pendidikan, dan perlunya ditambah jumlah sekolah.
Ketiga, bidang agama, SI menuntut dihapuskannya segala macam UU dan peraturan yang menghambat tersebarnya Islam; pembayaran gaji guru dan penghulu seimbang dengan gaji pendeta; subsidi bagi lembaga pendidikan Islam; dan pengakuan hari-hari besar Islam.
Keempat, bidang Agraria, SI menuntut penghapusan particuliere landerijen (milik tuan tanah); industri-industri yang menyangkut orang banyak harus dinasionalisasi bukan dimonopoli. Dan bidang keuangan, SI menuntut agar pajak berdasar proporsional, melarang pekerja dari kalangan anak-anak.







ISLAM DI INDONESIA FASE KEMERDEKAAN


Topik penting yang menjadi perdebatan panjang di era kemerdekaan adalah masalah ideologi negara (dasar negara). Kelompok nasionalis (PNI,PKI,Parkindo, PSI, dll) berhadapan langsung dengan kelompok Islam (Masyumi, NU, PSII, Perti). Setelah pemilu pertama september 1955 memilih anggota Dewan dan Desember 1955 memilih anggota Konstituate, suara umat Islam terpecah-pecah. Masyumi semula diramalkan mendapat suara terbanyak, tetapi hanya mendapat seperlima (20,9%); NU mendapat (18,4%); PSII mendapat (2,9%),sementara kelempok nasionalis yang tergabung dalaam PNI mendapat (22,3%).

M. Natsir yang pernah menjadi ketua Umum Masyumi sekaligus sebagai juru bicara umat Islam menegaskan bahwa UUD negara sepantasnya berakar dalam jiwa, akal, perasaan dan falsafah kehidupan rakyat. Ia menolak argumen bahwa Pancasila harus diterima atas nama demokrasi. Hal ini mengingat bahwa yang telah dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia selama berpuluh generasi dan menjadi pembimbing adalah Islam. disamping itu ada kesesuaian konsep ajarannya tentang negara dan masyarakat. Dan Islam sepatutnya menjadi dasar negara, karena Islam punya sifat menjamin hidup keragaman masyarakat saling menghargai antar golongan dalam negara.

Dalam mukadimah (rancangan mukadimah) UUD 1945 dicantumkan kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Namun untuk menyahuti keberatan dari saudara-saudara kita yang non-muslim terutama dari Indonesia bagian Timur diwakili oleh A A. Maramis, maka ketika mau dibacakan tanggal 18 Agustus 1945, atas usul Bung Hatta, kata-kata itu dihapus dari Mukadimah. Tetapi masalah itu dimunculkan lagi pada tahun 1950-an sesudah penyerahan kedaulatan, terutama pada pemilu 1955 serta pada sidang Konstituante yang berwenang menyusun UUD baru. Namun pada akhirnya dalam sidang itu gagal menghasilkan UUD baru karena pertentangan ideologi antara Islam dan nasionalis menemui kebuntuan. Bila dilihat dari perolehan kursi kelompok nasionalis 274 kursi; Islam 230 kursi dan kelompok Sosial-Ekonomi 10 kursi. Konstituante ”gagal” menetapkan UUD baru, meskipun telah dibahas sejak tanggal 10 November 1956 berakhir tanggal 2 Juli 1959. Hingga akhirnya Sukarno memutuskan berlakunya kembali UUD 1945 melalui dekrit 5 Juli 1959.

Ideologi Islam yang gagal diperjuangkan di konstituante, meski hasilnya sudah memasuki upaya final, mengalami ganjalan dalam menetapkan ideologi apakah Islam atau Pancasila. Kelompok yang mendukung kembali kepada UUD 1945 versi 18 Agustus terdiri dari PNI dan PKI serta Katolik dan Protestan. Sementara kelompok Islam Masyumi, NU, PSII, dan partai kecil lainya konsisten dengan ideologi negara Islam dangan UUD 1945 versi Piagam Jakarta. Sidang konstituate divoting dengan suara 269, 264, dan 263 (negara Islam berdasar pada piagam Jakarta 22 Juli 1945), pihak penentang 199, 204, dan 203 (negara Pancasila berdasarkan 18 Agustus UUD 45). Dengan tidak tercapainya suara mayoritas (dua pertiga), maka banyak pihak terutama partai nasionalis menginginkan sidang konstituante dibubarkan.

Sementara pihak Islam banyak kecewa sebagaimana dituturkan oleh Kahar Muzakkir (satu dari tim penandatangan Piagam Jakarta), bahwa penerimaan umat Islam terhadap UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 itu, karena Soekarno pernah berjanji bahwa UUD ini dapat disempurnakan kemudian disesuaikan dengan cita-cita umat Islam karena situasi saat itu masih berhadapan dengan agresi Belanda. Tim Sembilan penandatanganan Piagam Jakarta yang terdapat tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” itu adalah : Soekarno, Muhammad Hatta, AA. Maramis, Abikusno Tjokrosujono, Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Achmad Subarjo, Wachid Hasyim, dan M. Yamin.

Muh. Natsir petinggi Masyumi sekaligus pernah menjadi Perdana Menteri dalam Kabinet Natsir (September 1950 – Maret 1951), pernah menjadi Menteri Penerangan dalam kabinet Hatta (29 Januari 1949 – Agustus 1949), menegaskan bahwa Pancasila sesuai dengan ajaran Islam dan bukan barang asing yang berlawanan dengan ajaran al-Quran, tetapi tidak berarti pula Pancasila itu identik dengan al-Quran atau meliputi semua ajaran Islam. Di samping itu menurutnya sungguhpun Pancasila itu mengandung tujuan Islam, namun Pancasila itu tidak berarti Islam dan ada cita-cita luhur yang perlu ditegakkan seorang muslim, yaitu syariat Islam. Dengan kata lain, meski Natsir setuju Pancasila sesuai dengan ajaran Islam, bukan berarti ia setuju Pancasila dijadikan sebagai dasar negara (Deliar Noer : Partai Islam di Pentas Nasional ; 131-132).

Berkaitan dengan ideologi Islam itu pula muncul sekelompok orang di luar pemerintahan yang berusaha mendirikan negara Islam lagi, yang pada akhirnya menimbulkan pemberontakan di beberapa wilayah Indonesia, misalnya pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DITII) pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat berakhir tanggal 4 Juni 1962; DITII dipimpin Kahar Muzakkar di Sulawesi Tenggara berakhir tanggal 3 Februari 1965; Darul Islam pimpinan Daud Beureueh berakhir dengan kesepakatan damai tanggal 17 Agustus 1961.
Mengenai proklamasi Negara Islam Indonesia oleh Kartosuwiryo – nama lengkapnya Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo – tanggal 7 Agustus 1949 isinya “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang, kami umat Islam dari rakyat Indonesia menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Hukum yang berjalan adalah hukum Islam, Allahu Akbar”. Menurut Kartosuwiryo merupakan hak suci umat Islam Indonesia, jika RI. bersedia mengakui batas-batas wilayah, NII akan memberikan jaminan bahwa RI. akan mempunyai sahabat sehidup semati. Inti perlawanan dari Kartosuwiryo adalah menolak kerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun termasuk menolak penjanjian Renvile.

Hal senada juga perjangan NII versi Kahar Muzakar – nama aslinya La Domeng keturunan Arab-Bugis – mempunyai niat baik dan menganut cita-cita luhur Islam tertentu.Ia mengecam partai-partai Nasionalis (PNI, Murba dan PKI) adalah munafik dan tidak bertuhan karena itu harus dihancurkan (pasal 12). Sementara partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII) dinilai kontrarevolusioner dan harus ditiadakan (pasal 13). Semua orang feodal yang gemar memakai gelar seperti Daeng, Haji, Tengku,Sayyid, Raden, Gede bagus dilawan (pasal 16). Termasuk NII menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri (surat 5 ayat 38).

Sedangkan pemberontakan Aceh melawan Jakarta dalam tahun 1953 barangkali bukan merupakan hasil peristiwa serba kebetulan, seperti terjadi di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Aceh dulunya masyarakat tertutup bahkan hingga sekarang, dan mereka bangga dengan sebutan Serambi Mekah. Ketika Agresi Belanda kedua tanggal 19 Desember 1948, pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) terbentuk di Sumatra Barat dengan pimpinan Syafrudin Prawiranegara diserahi kekuasaan oleh Soekarno dari Yogyakarta. Saat itu tahun 1949 pemerintah menerima tuntutan Aceh untuk menjadi pemerintahan otonom dari Republik secara de jure, dengan Daud Beureueh sebagai Gubenur.
Tahun 1950 timbul masalah, pemerinteh pusat Jakarta memutuskan bahwa Aceh disatukan dengan Tapanuli dan Sumatera Timur menjadi provinsi Sumatera Utara (BJ. Boland : 77). Dengan demikian jabatan Gubernur Daud Beureueh tidak diperlukan lagi, dan ia diangkat suatu jabatan di Jakarta. Tetapi ia menolak keputusan itu dan tidak bersedia dipindahkan di Jakarta. Daud sangat moderat dan menjunjung tinggi nilai Islam, tidak menginginkan perpecahan dan loyal kepada pemimpin dari seorang muslim (saat itu Masyumi), tetapi ketika kabinet berubah dipimpin oleh Ali Sastromijoyo (PNI) tanggal 1 Agustus 1953, kelompok sayap kiri Jakarta memunculkan desas desus akan menahan 190 orang tokoh Aceh.
Akhirnya banyak tokoh-tokoh Aceh pindah ke gunung-gunung. Di sinilah terjadi pemutusan hubungan dengan “Jakarta” secara resmi dan bermulanya pembrontakan Darul Islam di Aceh. Memang diadakan kontak oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat, tetapi Aceh tidak berminat melibatkan diri dengan negara Islam versi Kartosuwiryo.
Karena desakan yang kuat dari Aceh dan penguasaan wilayah yang luas, maka kabinet Ali melalui Menteri Dalam Negeri Sunarjo mengunjungi Aceh dan setuju Aceh menjadi Provinsi dan wilayah otonom. Tanggal 27 Januari 1957 Ali Hasjmi resmi dilantik menjadi Gubernur. Dalam tahap berikutnya muncul kesepakatan segitiga antara Ali Hasjmi (Provinsi Aceh), Daud Beureueh (Darul Islam) dan Pemerintah Pusat 26 Mei 1957.


ISLAM DI MALAYSIA DAN NASIONALISME MELAYU

 Penyebaran Islam di Malaysia tidak bisa dilepaskan dengan peranan kerajaan Malaka. Karena Malaka merupakan salah satu pusat kunci perkembangan Islam pesisir hingga kepulauan Sulu Philipina. Islam berkembang setelah Sultan Muzaffar Syah (1445-1459). Dengan dikeluarkannya Hukum Kanun Malaka dan Undang-Undang Islam sebagai dasarnya (Zainal Abidin : 22).

Pada tahun 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis, tetapi tahun 1641 Portugis mampu dikalahkan Belanda, karena jajahan Belanda tidak mentolerir penguasa Melayu melanggengkan adat istiadat mereka, maka pada akhirnya Belanda jatuh ke tangan Inggris tahun 1795. tahun 1874 Inggris membuat perjanjian Pangkor, yang isinya Inggris berjanji tidak akan ikut campur dalam urusan-urusan yang menyangkut adat istiadat dan agama orang Melayu. Dibandingkan Portugis dan Belanda, maka Inggris adalah penjajah yang lebih simpatik terhadap Islam.

 Berdasarkan UUD Malaysia sejak merdeka 31 Agustus 1957, Islam merupakan agama resmi negara, walaupun agama-agama lain tetap dijamin. Dari jumlah penduduk 18 juta tahun 1995, yang memeluk Islam tidak lebih dari 55%, namun citra Islam di negara ini sangat mencolok, karena Islam menjadi faktor utama bagi identitas Melayu. Dikatakan orang Melayu identik dengan muslim adalah simbol dari nasionalisme Melayu. Salah satu penyebabnya adalah setelah terjadinya peristiwa berdarah kerusuhan rasial antar etnis Melayu dan Cina yang terjadi 13 Mei 1969.

Semangat nasionalisme Melayu sebenarnya tumbuh sejak tahun 1930-an, tetapi puncaknya ketika penjajahan Inggris semakin intensif yang akhirnya tahun 1948 lahir gerakan Partai Politik Melayu dengan nama UMNO (United of Malay Nationalism Organization) pada awalnya hanya berfungsi sebagai jaringan administrasi penjajahan Inggris di Malaysia.

 UMNO didirikan pada dasarnya adalah akibat langsung perlawanan Melayu yang ketuanya adalah Onn Jakfar terhadap usulan Inggris membentuk Malayan Union. UMNO lalu menjadi pusat ketegangan antara kelompok yang cenderung nasionalis etnis-sekuler dengan pemimpin yang lebih Islami seperti Ahmad Fuad. Karena pemimpin kelompok kedua ini tidak puas pada kelompok yang pertama tentang perjuangan Islam yang dilakukan UMNO, akhirnya mereka keluar dari UMNO dan membentuk HAMIM (Hizbul Muslimin) Partai Islam pertama diketuai oleh Abu Bakar al-Bakir tahun 1948, dengan motto “memperjuangkan kemerdekaan Melayu dan membangun Masyarakat Islam berdasarkan prinsip Islam, dan Malaya sebagai negara Islam”. Organisasi ini secepatnya dilarang Inggris dan pemimpinnya ditangkap, karena bertentangan dengan keinginan Inggris. Tetapi lembaga inilah yang mengilhami berdirinya PAS di kemudian hari.

 UMNO pada masa kepemimpinan Tunku Abdurrahman (setelah Onn Jakfar) menegaskan dalam Anggaran Dasar UMNO 1960 berjanji “mendorong kemajuan Islam sebagai “modus vivendi” atau cara hidup”, tetapi negeri ini bukanlah negara Islam sebagai umumnya dipahami dan hanya mengakui Islam sebagai agama resmi negara, dalam arti ia pendukung negara sekuler.

Untuk memenuhi janji ini, Abdurrahman membangun mesjid negara tahun 1961 dan juga menyelenggarakan MTQ tingkat nasional. Tetapi kebijakan ini hanya bersifat simbolis demi menentramkan elemen-elemen pro-Islam di arena politik. Untuk memperkuat posisi politik, Abdurrahman sebagai presiden UMNO dan sebagai Perdana Menteri menjalin aliansi dengan partai non-Melayu seperti MCA dan MIC.
Untuk mempertegas ideologi negara, Abdurrahman menerapkan secara resmi tahun 1970 prinsip dasar rukun negara, yaitu “Kepercayaan kepada Tuhan; kesetiaan kepada raja dan negara; menjunjung tinggi konstitusi negara dan negara hukum; prilaku dan moralitas yang baik”.

 Pada tahun 1971 pemerintah juga mengeluarkan kebijakan ekonomi baru yang dikenal dengan NEP (New Economic Policy). Kebijakan ini bertujuan ingin mengangkat harkat dan martabat orang Melayu, dan membangkitkan kembali semangat nasionalisme Melayu. Harapannya tahun 1990 nanti akan ada keseimbangan kue nasional sekurang-kurangnya 30% bagi kaum Melayu (bumi putra); 40% bagi nonp-Melayu (India dan Cina) serta 30% bagi perusahaan multinasional. Kebijakan ini dibuat mengingat kemiskinan yang melilit bagi etnis Melayu, sementara ekonomi dipegang oleh Cina.

 Satu-satunya organisasi pemuda yang diizinkan pemerintah UMNO adalah ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) berdiri tahun 1969. lembaga ini didirikan bertujuan membela dan memajukan Islam, khususnya kesempurnaan sebagai (al-Dini) serta untuk menanggulangi masalah pembangunan bangsa. Tokoh-tokoh kunci ABIM adalah Anwar Ibrahim, Siddiq Fadhil, Ghani Samsudin, Kamaruddin Noer dan Kamaruddin Jakfar. ABIM memberi dukungan terhadap berdirinya negara Islam dan hukum Islam. sampai tahun 1981 ABIM dengan lantang menyatakan :
a. Pemerintah tidak Islami, karena banyak korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, penindasan buruh, dan lain-lain.
b. Menuduh ISA (Internal Security Act- Undang-Undang Keamanan dalam negeri) dan SAB (Societies Act Bill – RUU kegiatan masyarakat) agar dicabut karena bertentangan dengan hak asasi manusia.
c. Pembangunan yang dilakukan pemerintah tidak mampu menanggulangi masalah komunal negeri.
d. ABIM menyangkal kritikan UMNO mengenai kegiatan ekstrimis muslim, dengan mengatakan bahwa pemerintah anti dakwah Islam.

 Tahun 1981 ketika Mahathir mejadi Perdana Menteri, menawarkan kepada Anwar Ibrahim (Presiden ABIM) agar bergabung dengan pemerintah. Atas bujukan itu Anwar mau pindah haluan dengan misi “Dakwah Islam dan perbaikan nasib kaum Melayu”. Penilaian Anwar karena Mahathir lebih Islami dibanding pendahulunya. Banyak kebijakan yang dibuat Mahathir untuk meyakinkan rakyat Malaysia bahwa UMNO dan pemerintah benar-benar mendukung prinsip-prinsip Islam, bukan sekedar dukungan simbolis. Secara kronologis kebijakan pro-Islam yang dibuat :
1. Pemerintah merevisi sistem hukum nasional agar lebih selaras dengan hukum Islam (1978).
2. Mendirikan pusat penelitian Asia Tenggara (M$ 26 juta) tahun 1979.
3. Agama Islam dijadikan materi Ujian Nasional di sekolah (1979).
4. Penetapan bulan dakwah nasional (1979).
5. Menyusun kembali sistem ekonomi model Islam.
6. Pembangunan sekolah guru Islam (M$ 22 juta) 1980.
7. Pendirian Bank Islam, Pegadaian Islam, Asuransi Islam, Yayasan Ekonomi Islam (1981 – 1982).
8. Memperbanyak program keIslaman di TV dan radio (1981).
9. Bergabungnya Anwar Ibrahim dengan UMNO dan pemerintah (1982).
10. Pendirian rumah sakit Islam (1983).
11. Pendirian Universitas Islam Internasional (1983).
12. Deklarasi resmi “Islam Tubuh Pemerintahan” (1984).
13. Kebijakan agama Islam saja yang dapat siaran di TV dan radio.
14. Status hakim dan pengadilan Islam disetarakan dengan pengadilan sipil.
15. Membangun desa-desa Islam di kota-kota sepanjang Malaysia.

 Sikap pemerintah dan UMNO terhadap Islam memasuki era Mahathir sejak tahun 1981 mulai berubah, yaitu terbuka dan mendukung Islam. Tetapi penilaian aktivis oposisi, dukungan itu bersifat ambivalen, karena pada sisi lain pemerintah bersikap waspada untuk mengendalikan dan mengekang individu-individu atau kelompok Islam, dengan alasan kegiatan Islamnya membahayakan stabilitas negara.

 Adapun pemimpin-pemimpin UMNO yang otomatis menjadi perdana Menteri semenjak Malaysia Merdeka bisa dilihat sejak pertama yaitu :
1. Dato’ Onn Jakfar : Penggagas berdirinya UMNO dan memimpin tahun 1946-1957 keturunan dari Bugis (Sulawesi).
2. Tunku Abdurrahman : Bapak Kemerdekaan memimpin tahun 1951- 1971
3. Tun Abdul Razak : bapak Keamanan memimpin tahun 1971-1976
4. Husein Onn : Bapak keamanan memimpin tahun 1976-1981
5. DR. Mahathir : bapak Malaysia Modern memerintah 1981-2005 M.
6. Ahmad Badawi : memerintah dari tahun 2005 hingga 2009
7. Tun Muh. Najib : memerintah dari tahun 2009 hingga sekarang.

PERANAN PAS DALAM PENGEMBANGAN ISLAM
DI MALAYSIA



 Partai al-Islam Se-Malaysia (PAS) lahir pada tanggal 23/24 Agustus 1951 bertepatan tanggal 21/22 Zulkaidah 1370 H di Kkelab Melayu Banda Butterworth seberang Prai. Partai ini lahir dipelopori oleh beberapa ulama dari United Malaya National Organization (UMNO), yang awalnya (1946-1948 M) hanya berbentuk organisasi kemasyarakatan bagi perkumpulan orang-orang Melayu. Namun pada pertengahan 1948 M, organisasi ini mengubah haluan ke wilayah politik.

Dalam perpolitikan orang Melayu masa itu, ada dua kubu yang memiliki paham berbeda. Satu pihak berbasis pendidikan Barat, sementara di pihak lain memiliki basis pendidikan Timur Tengah. Kelompok Pertama membawa visi politik mengarah kepada demokrasi Barat, yaitu memiliki konsep bahwa antara agama dan politik tidak mungkin dipadukan, mereka umumnya mendapat restu dan pengakuan dari pihak kolonial Inggris. Sementara kelompok Kedua, memandang politik sebagai bagian dari Islam, Karena itu Islam dianggap sebagai Din wa al Daulah. Oleh pihak Inggris kelompok terakhir ini dianggap sebagai oposisi pemerintah bentukannya.

 PAS dibangun di atas kehancuran partai Hizbul Muslimin (HAMIM), yaitu Partai Politik Islam pertama dan satu-satunya pada waktu kolonial Inggris bercokol di kawasan Malaysia. Partai HAMIM ini digerakkan oleh kelompok muslim Melayu yang memiliki komitmen dengan tiga dasar perjuangan. Pertama, untuk membebaskan bangsa Melayu dan tanah Melayu dari penjajahan Inggris.kedua, membentuk negara Islam sejagat, dan Ketiga, untuk mewujudkan tanah Melayu sebagai negara “Daar al-Islam”. Visi penting PAS adalah ide pembentukan negara Islam yang punya perbedaan mencolok dengan konsep kenegaraan dikendalikan oleh UMNO (United Malay National Organization). Akibatnya PAS berupaya mengkritik terus menerus kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah (UMNO), karena kebijakan itu belum mampu menyentuh persoalan mendasar sesuai dengan konsepsi PAS. Hal ini tidak lain persoalan tentang kebijakan yang dibuat pemerintah tidak didasarkan pada al- Quran dan Hadits.

 Partai al-Islam Se-Malaysia (PAS) sebagai bagian dari oposisi pemerintah memiliki peran penting dalam politik Malaysia. PAS masih mampu mengendalikan kekuasaannya atas negara bagian Kelantan hingga sekarang. Namun kendalinya terhadap negara bagian Trengganu (dimenangkan tahun 1959) mulai surut sejak tahun 1962, yaitu ketika saat itu beberapa aktivis PAS membelot ke UMNO. Salah satu ciri penting perjuangan PAS adalah konsisten dalam memperjuangkan negara Islam. Menurut mereka konsep inilah yang belum bisa dijalankan sepenuhnya oleh UMNO untuk dijadikan sarana mengangkat citra identitas mereka dihadapan warga muslim, mengingat dasar eksistensi UMNO adalah nasionalis etnis dan punya visi sekuler.

 Visi PAS yang dicirikan sebagai negara Islam dengan dasar syariat Islam, sejak awal partai ini dikibarkan dalam masyarakat muslim tahun 1951 sering disebarluaskan, dan makin intensif sejak kepemimpinan Yusuf Rawa tahun 1982, namun sempat surut pada tahun 1970-an masa kepemimpinan Asri Muda. Otomatis PAS menolak bentuk sekuler yang dijadikan eksistensi negara Malaysia hingga sekarang dibawah pemerintah UMNO, dimana agama tidak memperoleh peran yang berarti di dalam negara, dan dimana hukum buatan manusia justru lebih unggul dari pada hukum ciptaan Tuhan. Meski praktiknya sulit menerapkan kedua bentuk hukum itu secara seiring dalam konteks Malaysia yang plural. Namun daya tarik simbol dan kultural model negara Islam dari sebagian kalangan warga melayu, khususnya yang tinggal di kampung-kampung tidak dapat diremehkan begitu saja.

 Pada awal berdirinya PAS 1951, Ahmad Fuad terpilih sebagai presidan partai. Bersamaan dengan Ahmad Fuad terdapat sederet tokoh yang ikut membesarkan PAS seperti Hasan Adli, DR. Burhanuddin Helmi dan Zulkifli Muhammad. Meskipun partai PAS saat itu begitu anti dengan kolonialis Inggris, namun mereka masih berusaha mendukung pemerintah Datok Onn Jakfar sebagai pemimpin United Malay National Organization (UMNO) betukan Inggris. Pada tanggal 25 Desember 1956, DR. Abbas Alias presiden PAS digantikan oleh DR. Burhanuddin Helmi. Sebagai wakil presiden ditunjuk DR. Zulkifli Muhammad Kedua tokoh ini memiliki peran penting dalam menggagas pergerakan politik Islam dan mengkompromikan dengan paham nasionalisme Melayu. Menurut mereka meskipun sulit untuk menggabungkan antara keduanya, namun ia tetap berusaha menggabungkan antara idealis Islam dengan Nasionalisme etnis Melayu.

Burhanuddin menyatakan bahwa “Politik Islam tidak bisa dipisahkan dari al-Quran dan Hadits, dan pada saat yang sama kita perlu meneguhkan falsafah melayu untuk bangsa Melayu”. Namun John Funston membantah bahwa keterlibatan Burhanuddin Helmi di pentas politik lebih didasarkan pada motivasi religius. Pada masanya Kelantan, Trengganu dan Kedah, menjadi basis masa pemilu 1959.

 Kekalahan PAS dalam Pemilu tahun 1964 di negeri bagian yang berbasis PAS (Trengganu, Kedah dan Kelantan) dapat dirinci pada tiga peristiwa penting. Pertama, didiskualifikasikan DR. Burhanuddin Helmi sebagai kandidat pemilu saat itu. Kedua, meninggalnya deputi presiden PAS, DR. Zulkifli Muhammad beberapa waktu setelah ia memenangkan kursi di parlemen. Ketiga, dari segi ekonomi, PAS mengalami masa-masa sulit, karena macetnya saluran berbagai dana ke negeri-negeri bagian yang dikuasai PAS. Dengan wafatnya DR. Zulkifli Muhammad bulan Mei 1964, jabatan wakil presiden PAS saat itu dipegang oleh Burhanuddin Helmi, sementara ia masih dalam tahanan pemerinhtah, maka kendali jabatan tersebut otomatis diaksanakan oleh DR. Asri Muda. Hingga pada Oktober 1969, jabatan yang Dipertuan Agung PAS dipegang oleh DR. Asri Muda.

 Dalam konsepsi PAS istilah negara – dikemukakan oleh pimpinan PAS Abdul Hadi Awang – bahwa suatu negara harus mendaulatkan hukum Allah, syariat Allah wajib menjadi akidah negara dan pegangan pemerintah, karena dari akidah ini dapat ditegakkan konstitusi dan sistem negara Islam. Dari sini dapat ditelaah bahwa konsep negara Islam ada tiga karakteristik : pertama, Medaulatkan Syariat Islam; kedua, Umat Islam memberikan dukungan yang kuat; ketiga, pemerintah Islam yang menaunginya.

Kemudian tokoh PAS lain Syafei Ibrahim menegaskan bahwa Islam adalah ideologi partai PAS dan partai ini berjuang untuk mengamalkan Islam secara menyeluruh setiap aspek dalam Islam. Ini berarti bahwa ia menyakini bahwa ajaran Islam sebagai ideologi yang lengkap. Islam tidak hanya diyakini sebagiannya saja, tetapi meliputi semua aspek, baik ekonomi, sosial-budaya, hukum dan politik. Pandangan ini mempertegas kosepsi partai bahwa menjadikan pemerintahan Islam adalah sarana mencapai tujuan. Karena menurut mereka, dengan terwujudnya negara Islam akan memungkinkan terlaksananya hukum Islam secara menyeluruh atau integrated.

 Konsep lain dari tokoh PAS tentang prinsip-prinsip pembentukan negara Islam dikemukakan oleh Nakha’ie Haji Ahmad :
1. Negara dan pemerintahan Islam dibentuk atas kedaulatan hukum Allah.
2. Negara dan pemerintahan Islam ditegakkan atas kekuasaan Ummah dalam arti bahwa negara Islam tidak akan terwujud tanpa umat.
3. Negara dan pemerintahan Islam ditegakkan atas dasar keadilan. Dan keadilan merupakan prinsip utama dalam menegakkan pemerintahan Islam yang mencakup keadilan di setiap aspek.
4. Negara Islam ditegakkan atas dasar sistem musyawarah (sura).
5. Pemerintahan yang bertanggungjawab dan adanya ketaatan dari rakyat.
Konsep ini bertentangan dengan konsep nasionalisme negara bangsa yang diusung oleh pemerintah UMNO. Karena itu, PAS berupaya mengkritik terus menerus kebijakan-kebijakanyang dibuat oleh Pemerintah (UMNO), karena kebijakan itu belum mampu menyentuh persoalan mendasar yaitu tidak didasarkan pada al-Quran dan Hadits.

 PAS mengibaratkan program Islamisasi yang buat pemerintah seperti gincu atau kosmetik yang hanya sebatas label menempel dalam sistem yang tidak ada kaitannya dengan prinsip ajaran Islam sebagai ideologi. Bahkan penerapan Islam yang dibuat pemerintah UMNO, menurut tokoh PAS Yusuf Rawa diibaratkan sebagai buah getah di dahan, kemudian diumumkan kepada orang ramai bahwa itu adalah buah durian. Sebutlah umpamanya kebijakan pendirian Bank Islam, Universitas Islam, Asuransi Islam, dan lain-lain, tetapi kebijakan itu belum mampu menciptakan perlembagaan (Undang-Undang) negara sesuai dengan cita-cita Islam. PAS pada dasarnya mau bekerjasama dengan pemerintah UMNO, namun apabila pemerintah mau dan sanggup menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam negara, termasuk menjadikan hukum Islam (yang ada dalam al-Quran dan Hadits) sebagai pedoman dalam menjalankan roda pemerintahan.

Berdasarkan konsepsi PAS di atas, menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk dalam urusan bernegara, ajaran Islam harus menjadi dasar negara, syariah Islam harus dijadikan konstitusi negara dan kedaulatan politik berada di tangan Tuhan. Konsep ummah yang dipahami PAS bertentangan dengan negara bangsa (nation state) yang banyak diakui oleh negara-negara modern (Eropa) termasuk UMNO.

 Menurut ilmuan muslim, Muhammad Imarah bahwa Islam sebagai agama sebenarnya tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum muslimin, karena logika tentang kesesuaian agama Islam untuk sepanjang zaman dan tempat menuntut agar soal-soal yang selalu berubah oleh kekuatan evolusi harus diserahkan kepada akal manusia untuk memikirkannya, dibentuk menurut kepentingan umum dan dalam kerangka prinsip umum yang telah digariskan agama Islam. Islam tidak meletakkan suatu pola yang baku tentang teori negara atau sistem politik yang harus dijalankan oleh ummah.
 Model sistem kenegaraan PAS, merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek legal formal idealisme politik Islam, yang ditandai oleh keinginan untuk menerapkan syariah secara langsung sebagai konstitusi negara. Sedangkan aliran yang bertolak belakang dengan konsepsi PAS, menekankan substansinya daripada bentuk negara yang legal formal. Penekanan substansi ini menginginkan agar terwujdunya nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah dan partisipasi yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Pendekatan ini lebih mudah menghubungkan antara Islam dengan sistem politik modern. Karena itu, menurut Michael Hudson menganggap bahwa bahwa tradisi pemikiran politik Islam yang berkembang dalam kurun sejarah Islam lebih kaya, beraneka ragam dan lentur.



ISLAM DI SINGAPURA DAN PERANAN MUIS

 Asal usul nama Singapura semula bernama Temasik, Tumasek (Jawa), Ta-ma-sek (Cina), sebagaimana dijelaskan kitab Tuhfat al-Nafis dimana saat itu sultan Singapura dipimpin oleh Sultan Husein Syah (1819). Ada versi lain, nama asal Singapura, ini muncul ketika pangeran dari Sumatera bernama Sang Nila Utama singgah di pulau ini tahun 1299 dan menemukan seekor binatang mirip singa, sehingga pulau in disebut lion city (kota singa). Ada versi lain bahwa nama Singapura itu adalah dari kata Singgah (singgah) dan pura berarti (kota), karena pada abad ke 14 Singapura merupakan bagian dari karajaan Majapahit, para pedagang dari penjuru manapun suka singgah disana.
 Negara Singapura adalah negara kota, berdiri pada taggal 9 Agustus 1965 atau keluar dari negara federasi Malaysia. Negara ini menganut paham “sekuler-modern”, dimana pemerintah bersikap netral terhadap semua agama dan ras. Etnis Melayu muslim berlatar belakang dari pesisir Malaysia, Jawa, Bugis, Bawean. Selain ada juga dari muslim India, Cina, Pakistan dan Arab. Diantara keluarga besar keturunan Arab yang besar dan kaya adalah Al-Sagoff, Al-Kaff, dan Al-Juneid. Penduduk mayoritas adalah Cina 77%, Melayu 15%, (kurang lebih 376.000 jiwa) dari 4 juta lebih ; India 6% dan lain-lain. Melayu muslim kebanyakan hidup dengan standar ekonomi lebih rendah dibanding dengan non-Melayu, termasuk tertinggal di bidang pendidikan sosial ekonomi dan politik. Tahun 1980-an hanya terdapat 679 orang yang lulus Sarjana (Muslim In Singapore, 1985).
 Singapura adalah sebuah negara Republik dengan sistem pemerintahan parlementer. Dalam UUD negara ini terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Presiden adalah sebagai kepala negara, tetapi tidak memiliki kekuatan politik. Sedangkan Perdana Menteri adalah pemimpin kabinet dan administrasi pemerintahan hingga otomatis kekuatan politik dipegang penuh oleh Perdana Menteri.

 Islam di Singapura disyiarkan oleh para ulama dari berbagai belahan Asia Tenggara dan benua kecil India, seperti Syaikh Hatib al-Minangkabaui; Syaikh Tuanku Mudo Aceh; Syaikh Ahmad Aminudin; Syaikh Syed Usman bin Yahya bin Akil (mufti Betawi); Syaikh Habib Ali Habsi (Kwitang, Jakarta); Syaikh Anwar Sribandung (Palembang); Syaikh Muhammad Jamil Jaho (Padang Panjang), dan lain-lain. Sistem pendidikan Islam modern dari awal hingga sekarang merujuk pada sistem Mesir dan Barat seperti madrasah, sekolah Arab atau sekolah Agama, tetapi tidak mengenal pondok pesantren. Ada 4 madrasah terbesar di Singapura yaitu :

1. Madrasah al-Junied al-Islamiyah, didirikan tahun 1927 M oleh pangeran Syarif al-Sayid Umar bin Ali al-Juneid dari Palembang. Materi terdiri dari Ilmu Hisab, Tarikh, Ilmu Alam, Bahasa Melayu, Bahasa Inggris, Sains, Sastra Melayu dan Pelajaran Agama.
2. Madrasah Al- Ma’arif, didirikan tahun 1940-an, gurunya dari lulusan Al-Azhar Mesir.
3. Madrasah Wak Tanjung al-Islamiyah, didirikan tahun 1955 M.
4. Madrasah Al-Sagoff atau as-Saqaff, didirikan tahun 1912 di atas tanah wakaf Syed Muhammad bin Syed al-Saqoff.

 Untuk meyakinkan kaum muslimin bahwa pemerintah memegang prinsip kebebasan dalam beragama dan melindungi keyakinan mereka, maka MUIS (Majlis Ugama Islam Singapura) didirikan dibawah perundang-undangan dan ketentuan Administration of Muslim Law Act of 1966 (AMLA). MUIS bertanggung jawab dalam mengatur administrasi hukum Islam di Singapura, termasuk mengumpulkan zakat mall, pengaturan perjanjian haji; sertifikasi halal, aktifitas dakwah, mengorganisasi sekolah-sekolah agama, mengorganisasi pembangunan masjid dan manajerialnya (ada 90 masjid yang dikelola); pemberian beasiswa pelajar muslim; dan bertugas mengeluarkan fatwa agama. Ketua dan anggota MUIS diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, melalui usulan dari kelompok melayu muslim.

 Sebagai komunitas minoritas, muslim Singapura tidak bisa melepaskan diri dari berbagai kebijakan pemerintah dan arus utama (mainstream) masyarakat Singapura yang dikenal sebagai salah satu negara industri baru (NICs) selain Jepang, Korea Selatan dan Hongkong. Konsekuensi dari minoritas ini berdampak pada peminggiran langsung atau tak langsung di berbagai bidang, antara lain :
a. Pendidikan, pemerintah memberlakukan sistem meritokrasi, yaitu memberikan kesempatan setiap warga berdasarkan persaingan sehat dan prestasi, bukan pertimbangan etnis atau agama. Kebijakan ini menyulitkan anak-anak muslim yang memiliki kompetisi rendah untuk masuk ke sekolah-sekolah unggulan, etnis Cina dalam hal ini lebih berprestasi.
b. Bidang sosial, pemerintah menerapkan kebijakan membangun rumah rakyat dengan Housing and Development Board (HDB), program ini mewajibkan setiap warga tinggal diperumahan baru di flat atau kondominium. Konsekuensinya, semula muslim Melayu tinggal di pemukiman tradisional dan homogen, terpaksa tinggal di flat atau sejenis yang multi etnik dan menanggung biaya hidup tinggi (living cost). Mereka teralienasi (terasingkan) dari tradisi budaya Melayu. Di samping itu Melayu Muslim terbebani dengan biaya hidup tinggi yang membuat mereka harus bekerja ekstra dan minim aktivitas sosial-keagamaan.
c. Bidang politik, Melayu Muslim juga tidak mendapatkan haknya secara proporsional (termarjinalkan). Di lembaga dewan belum merepresentasikan jumlah warga muslim. Di kabinet hanya ada satu orang yang duduk sebagai menteri, itu pun hanya menteri khusus yang mengurus persoalan keIslaman.
d. Melayu Muslim menyadari kondisi real ini sebagai kelompk minoritas, sehingga lebih memprioritaskan sektor kultural dengan mendirikan asosiasi Islam seperti MUI, MENDAKI, Muhammadiyah, dan lain-lain.

 Dilatarbelakangi oleh sensus penduduk tahun 1980-an yang menyatakan Melayu-Muslim adalah kelompok tertinggal dari etnis lain secara sosial-ekonomi, maka pada tahun 1982 didirikan Majlis Pendidikan untuk Anak-anak Islam (MENDAKI). Lembaga ini mengarahkan tujuannya bagi pendidikan anak-anak muslim, terutama mengkoordinir lembaga-lembaga pendidikan Islam, membuat konferensi, seminar, penerbitan jurnal dan artikel, serta program pendidikan kehidupan keluarga sakinah.

 Dilihat dari sisi nasionalisme minoritas Melayu-Muslim, maka dipahami bahwa mereka telah memiliki pilihan tepat, yaitu tetap berada di bawah sistem pemerintah Singapura yang sekuler, meskipun dalam waktu bersamaan mereka harus melestarikan dan mempertahankan identitas keMelayuan dan keIslamannya. Ada tiga indikator yang dapat dilihat :
1. Tidak menuntut keistimewaan dan bersaing secara bebas dengan etnis lain. Hal ini berbeda dengan minoritas muslim di Philippina dan Thailand. Sikap ini membantu terciptanya keharmonisan dan integrasi nasional.
2. Mewujudkan stabilitas negara. Keberhasilan ini mampu menekan sentimen etnis dan golongan menuju sikap multikultural dan semangat kebersamaan tidak terlepas dari dukungan muslim Melayu.
3. Menerima nilai-nilai politik negara. Partisipasi muslim Melayu dalam kemajuan negara Singapura tidak dapat dipungkiri, karena mereka umumnya menerima prinsip-prinsip pemerintahan, seperti multiracialism, meritocracy, sehingga loyalitas masyarakat ikut menentukan keberhasilan sebuah bangsa.



FALSAFAH MELAYU ISLAM BERAJA (MIB) DAN ISLAM DI BRUNEI



 Brunei Darussalam adalah wilayah yang terletak di Barat Daya pulau Borneo (Sabah). Luas wilayahnya ±5.765 Km2 dengan ibu kotanya Bandar Sri Begawan. Sistem pemerintahannya menggunakan sistem Monarchi Parlementer. Brunei merdeka dari jajahan Inggris di bawah negara persemakmuran Inggris tanggal 1 Januari 1984. Brunei didiami oleh beragam etnis 2/3 etnis Melayu (90%) muslim; 1/5 etnik Cina dan sisanya etnis India.

 Filosofi politik Brunei adalah penerapan yang begitu ketat terhadap Melayu Islam Beraja (MIB) yang terdiri dari 2 dasar :
1. Islam sebagai Guuiding Principle.
2. Islam sebagai Form of Fortification
Dari dua dasar ini kemudian muncul penanaman nilai-nilai keIslaman kenegaraan (pengekalan) dengan tiga konsep, yaitu :
1. Mengekalkan Negara Melayu.
2. Mengekalkan Negara Islam (hukum Islam yang bermazhab Syafii – dari sisi fiqhnya – dan bermazhab Ahl Sunnah wal Jamaah – dari sisi akidahnya).
3. Mengekalkan negara beraja.
Untuk menerapkan MIB ini maka disusunlah materi secara cermat dan lengkap untuk dimasukkan dalam kurikulum pelajaran dari pendidikan terendah sampai tertinggi.

 Dilihat dari status sosial ekonomi masyarakat Brunei, maka negara ini adalah negara kaya raya penuh dengan berbagai fasilitas. Fasilitas umum, dimulai dari telpon, air, listrik, angkutan umum, pendidikan, kesehatan dan lainnya semuanya gratis. Tidak ada kewajiban penduduk membayar pajak perorangan, yang ada hanya pajak perusahaan (minyak). Kebutuhan hidupnya secara ekonomi sebagian besar dipenuhi melalui impor, baik makanan maupun alat-alat elektronik dari negara Singapura, Malaysia, Jepang, USA dan British. Sementara ekspor terbesarnya adalah minyak bumi ke USA, Singapura dan Korea, dengan surplus yang sangat besar.

 Dilihat dari sosial-budaya, jumlah penduduknya tahun 1985 awal merdeka sebanyak 224.000 orang, kemudian digalakkan penduduknya agar banyak anak dengan pemberian hadiah bagi yang banyak anak. Maka tahun 1994 menngkat menjadi 370.000 orang. Dan data tahun 2003 jumlah penduduk sekitar lebih kurang enam ratus ribu orang. Dari sisi informasi, maka seluruh media radio, televisi, media cetak adalah berada dalam naungan pemerintah atau kontrol kerajaan. Sehingga kebudayaan asing dari belahan dunia manapun yang masuk harus melalui filter satu lembaga yang mirip dengan Departemen Penerangan (Infokom). Informasi itu semuanya diterjemahkan dalam dialek lokal atau Melayu dan setiap berita yang akan diakses keluar harus diterjemahkan terlebih dahulu dalam bahasa Inggris.

 Berkaitan dengan masuknya Islam pertama, dapat diketahui berdasarkan bukti sejarah Brunei, yaitu batu di perkuburan Islam Rangas, Tutong Bandar Sri Begawan bertuliskan Cina bernama P’ukung Chih-mu meninggal 1264 M, ia adalah keturunan dari Dinasti Sung Selatan yang telah banyak memeluk Islam. Beliau adalah orang Cina yang masuk Islam. hal ini bisa dibandingkan dengan masuknya Islam di Cina (Canton) tahun 610 M; Phang Ray Vietnam tahun 1039 M; Trengganu 1303 M; dan Jawa (Leran Jawa Timur) tahun 1082 M. Brunei bagi kawasan Borneo adalah pusat perkembangan Islam sampai ke wilayah Philipina, karena zaman pemerintahan Sultan Bolkiah (1485-1524) – sultan ke-5 – sangat intensif melakukan penaklukan dan menyebarkan Islam di wilayah Borneo dan Sulu (Philipina Selatan).

 Kerajaan Brunei Darussalam berdiri sekitar tahun 1402 M dengan 19 raja yang telah menduduki hingga sekarang. Adapun beberapa raja yang punya peran penting bagi pengembangan Islam diantaranya ;
1. Sulthan Muhammad Syah sultan ke-1 ( sebelum masuk Islam ia lebih dikenal dengan Awang Alak Betatar) ia memerintah sejak tahun 1402 M-1408 M. pada masanya terjadi pengislaman pejabat dan perangkat kerajaan Brunei Darussalam.
2. Sulthan Bolkiah (1485-1524) sultan ke-5. pada masa kepemimpinannya Islam disebarkan secara intensif hingga masuk ke kawasan Borneo (Kalimantan) termasuk wilayah kesultanan Sulu (Filipina).
3. Sulthan Abdul Mubin (Momin) sultan ke-12, memerintah tahun 1852-1885 M. pada masanya dilakukan penetapan mazhab secara resmi sebagai mazhab di kerajaan yaitu untuk fiqih bermazhabkan syafii dan kalam bermazhabkan Ahli sunnah wal jamaah. Hal ini dilakukan karena sering terjadinya perselisihan dalam masyarakat dalam masalah agama.
4. Sulthan Hasanul Bolkiah sultan ke-19 memerintah dari tahun 1968 hingga sekarang. Pada masanya ditetapkan filosofi kerajaan Berunai sebagai tonggak pemerintahan yaitu dikenal dengan MIB (Melayu Islam Beraja).

 Setelah Brunei merdeka 1 Januari 1984, Brunei dipimpin oleh Sultan Hasanul Bolkiah Mu’izaddin Wadaulah sultan ke 19. Sejak tahun 1991 Sultan menerapkan MIB (Melayu Islam Beraja atau Kerajaan Islam Melayu) sebagai ideologi negara, tujuannya adalah agar masyarakat setia kepada rajanya, melaksanakan ajaran dan hukum Islam serta menjadikannya sebagai pedoman hidup dihubungkan dengan karakteristik dan sifat bangsa Melayu sejati Brunei Darussalam, termasuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa utama.

Sejak Brunei merdeka ada pergeseran jumlah prosentase etnis yang mendiami Brunei. Melayu sebagai mayoritas (68,7%); Cina (18,3%); India dan lain-lain (7,9%). MIB mampu mengelaborasi lembaga-lembaga adat dan tradisi Melayu, berkembangnya institusi-institusi Melayu dan kesultanan Melayu. Dari penerapan MIB ini terdapat perubahan sosial penduduk sesuai dengan penelitian yang hasilnya :
1. Penduduk Brunei seluruhnya baik secara kultural maupun psikologis mampu mengatasi keragaman yang ada.
2. Kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai hukum, ketertiban, kesejahteraan, pendidikan dan pembangunan ekonomi mendominasi kehidupan rakyat.
3. Proses sosial ini menjadikan penduduk Brunei mampu memiliki pola hidup yang toleran, harmonis dan hidup bersama (Form of Courtesy of Brunei Darussalam; UBD, 1991).

 Poin pertama di atas, mengakui keragaman etnik mayoritas warga Melayu meliputi Melayu lokal, dusun, murut, kedayan, bisayah dan etnis Melayu lain dari Malaysia dan Indonesia. Kedua, adanya proses birokrasi dalam pembentukan negara modern, dan harus dipahami serta dipatuhi oleh masyarakat. Ketiga, adanya fenomena yang tampak perlunya membangun ideologi nasional dan mengartikulasikannya dalam budaya nasional di tengah-tengah ideologi yang ada di wilayah Asia Tenggara atau belahan dunia lain.

MIB pada dasarnya berkaitan erat dengan evolusi adat istiadat dan tradisi Melayu Brunei serta acara-acara upacara keagamaan yang banyak tertera dalam kalendar muslim yang memberikan wawasan tentang bagaimana caranya ideologi nasional diungkapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 Untuk menunjukkan identitas ideologi negara, sultan dalam beberapa kesempatan mengeluarkan dekrit yang isinya :
b. Membuat garis pemisah antara Islam pribumi dan Islam luar, terutama kaum fundamentalis, termasuk gerakan al-Arqam dari Malaysia.
c. Sultan mengharusnya warga Melayu mampu membaca al-Quran dengan mengeluarkan dana 2 juta dolar Brunei untuk merealisasikan kebijakan ini.
d. Memerintahkan pentingnya pengajaran bahasa Melayu dalam aksara Jawi (Arab-Melayu), agar masyarakat memahami hubungan antara bahasa Melayu dengan warisan budaya Islamnya.
e. Tahun 1991 didirikan Tabungan Amanah Islam Brunei (TAIB), lembaga keuangan yang didasarkan syariat Islam guna mendukung investasi dan perdagangan meliputi bursa dan pasar uang serta pembangunan ekonomi atau industri di dalam dan luar negeri
f. Pemerintah juga melarang jual beli minuman keras di toko-toko atau hotel, dan tempat lain.

 Penetapan Mazhab Syafii (fiqh) dan Mazhab Ahl Sunnah wal Jamaah (tauhid) yang termaktub dalam MIB sebenarnya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor historis yaitu :
a. Sekitar abad ke-17 dan 18 M sampai masa abad ke-20-an di Kesultanan Brunei dijumpai kitab-kitab yang dijadikan standar kurikulum cenderung mengarah ke Mazhab Syafii dan Ahl Sunnah waj Jama’ah, seperti : Sabilul Muhtadin (karya Daud Fatani); al-Mukhtasar dan Siratal Mustaqim (karya ar-Raniry); Ghayatut Taqrib fil Irthi wat-Ta’shib, dan lain-lain.
b. Mazhab Syafii juga menjadi pegangan para ulama Brunei dan kebanyakan ulama nusantara. Karena umumnya kitab yang dikarang berbahasa Arab Melayu.
c. Pada tahun 1930-an s/d 1940-an terdapat pergesekan atau konflik dalam masyarakat, antara kelompok “bergondol” (tidak berkupiah) karena alasan modern dengan kelompok berkupiah. Dalam masyarakat ada yang saling mendukung dan menolak.
d. Untuk menetralisir perselisihan dalam masyarakat dari berbagai kelompok yang ada, maka sejak Sultan Abdul Momin (raja ke-12 tahun 1852-1885) kerajaan terlibat menjadi pendukung salah satu mazhab yaitu Syafii dan Ahl Sunnah wal Jamaah.





ISLAM DI THAILAND SELATAN DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH


 Dari sisi sejarah, berkembangnya Islam di Thailand sudah sejak abad ke-12 M yang berakar dari kesultanan Pattani. Masyarakat Melayu-Muslim Pattani hingga sekarang tinggal di empat Provinsi di Thailand bagian Selatan, yaitu Pattani, Yalla, Naratiwat dan Setul. Sebagian muslim lain juga mendiami Provoinsi Songkla. Seluruh provinsi yang mayoritas muslim ini dulunya adalah termasuk wilayah Kesultanan Pattani abad ke-17-18. Kesultanan Pattani ini banyak melahirkan ulama besar, salah satunya adalah Daud bin Abdullah al-Fattani (w. 1874). Namun akhirnya Pattani Raya dipaksa mengintegrasi diri dengan pemerintahan Thai pada masa Raja Chulalongkorn (Rama V) tahun 1902.

Dalam masalah integrasi antara wilayah-wilayah di bagian Selatan Thailand yang mayoritas Melayu-Muslim, dengan Kerajaan Thai (Siam) yang mayoritas Cina-Buddhis, di bawah kekuasaan Chulalongkorn telah banyak menimbulkan persoalan-persoalan bagi masyarakat Melayu-Muslim, seperti masalah pendidikan, hukum, kebudayaan, bahasa, agama, dan lain-lain. Sistem yang dibina oleh Pemerintah Thai secara nasional adalah Monarkhi, Agama Buddha dan Birokrasi yang mesti seragam, padahal Melayu-Muslim Pattani punya identitas Melayu-Muslim.

 Dalam realitas kultural, ketika proses integrasi berlangsung, umumnya masyarakat muslim Pattani lebih suka bergabung dengan Malaysia yang pada saat itu di bawah pemerintahan jajahan Inggris, karena dengan begitu mereka dapat hidup bersama dengan kelompok seagama, bahasa, budaya dan bangsa. Hidup di bawah Pemerintahan Muangthai yang agama negaranya adalah agama Buddha, mereka merasa diperlakukan tidak adil sebagai kelompok minoritas. Di samping itu, mereka telah terisolasi dari birokrasi negara, karena perbedaan agama, bahasa dan kebudayaan. Ini nampak jelas ketika Pemerintah Thai mencopot kaum bangsawan Pattani dari kekuasaannya pada jabatan-jabatan penting di wilayah provinsi yang mayoritas muslim itu, dan menggantikannya dengan birokrat dari Bangkok atau provinsi bagian Utara. Di samping itu, proses asimilasi dan akulturasi yang dipaksakan oleh Pemerintah Thai kepada Muslim Pattani dianggap oleh masyarakat muslim dalam rangka langkah strategis mengeliminasi budaya Melayu yang identik Islam melekat bagi penduduknya.

 Kebijakan-kebijakan yang menekan Melayu muslim antara lain ; Pembaharuan Undang-Undang yang diajukan pemerintah Bangkok, menghendaki agar semua persoalan hukum harus ditempatkan di bawah hukum Thai, kecuali kasus-kasus yang menyangkut hukum keluarga dan hukum warisan. Pengangkatan hakim-hakim Islam (Qadhi) dijadikan hak prerogatif hakim-hakim Thai yang bersidang. Kontrol atas pengangkatan para hakim-hakim Islam telah menimbulkan kesulitan besar bagi pemerintah dan para administrator terpaksa mengambil langkah-langkah lain untuk menghilangkan kesan bahwa merekalah yang mempunyai suara.

Pembaharuan Undang-Undang yang dibuat Pemerintah Thai itu telah mengacaukan sistem kelembagaan masyarakat Melayu-Muslim yang sudah terbentuk sejak Kesultanan Pattani. Undang-Undang itu menjadikan Banagsawan Pattani merasa terasing di negeri sendiri dan tidak percaya pada Pemerintah Thai. Apalagi tindakan Pemerintah Thai menekan dan mencopot bangsawan Pattani dari kekuasaannya, dalam waktu bersamaan jabatan-jabatan di provinsi itu dialihkan kepada birokrat dari Bangkok, yaitu dari provinsi-provinsi bagian Utara yang memiliki bahasa, agama dan budaya yang berbeda. Ditambah lagi dengan asimilasi kebudayaan yang dipaksakan oleh Pemerintah Thai terhadap Melayu-Muslim Pattani. Tindakan ini dianggap oleh masyarakat Melayu-Muslim sebagai upaya pemusnahan Budaya Melayu dari bumi kelahirannya sendiri.

 Salah satu reaksi kolektif yang pertama muncul terhadap pemberlakuan pembaharuan Undang-Undang tersebut di atas adalah pada tahun 1903 di daerah Pattani Raya ada gerakan massif menentang Pemerintah Thai yang dikomandoi oleh Raja Pattani Abdul Kadir. Bentuk penentangan itu dilakukan dengan dua cara. Pertama, perlawanan yang bertujuan untuk melakukan pemberontakan terhadap sistem Undang-Undang baru, tetapi kemudian memancing tindakan penindasan yang lebih keras dari penguasa. Kedua, gerakan yang dilakukan oleh Raja Pattani untuk meminta campur tangan pihak asing, terutama Inggris yang pada waktu itu menaruh perhatian besar terhadap negeri-negeri Melayu di Pattani.

Tekanan bagi Melayu-Muslim Pattani juga muncul ketika Raja Wachiravut (Rama VI) – anak dari Raja Chulalongkorn – yang memerintah tahun 1910 – 1925. Wachiravut adalah seorang nasionalis Thai yang memperoleh didikan di Inggris, ia menganut paham patriotik Inggris tentang konsep “Tuhan, Raja dan Negara” (God, King and State). Simbol ini digunakan untuk mempersatukan kerajaan hingga ke wilayah Melayu-Muslim Pattani. Kerasnya perjuangan Melayu-Muslim memaksa Pemeritah Bangkok meninjau kembali pemberlakuan sistem pendidikan, birokrasi dan campur tangan bidang ekonomi. Raja Wachiravut bulan Juli 1923 memberikan konsesi-konsesi kepada Melayu-Muslim Pattani Raya melalui instruksi Menteri Dalam Negeri yang isinya.
1. Peraturan yang bertentangan dengan Islam harus dihentikan segera, dan peraturan baru tidak boleh melanggar ajaran Islam.
2. Pajak yang dipungut dari warga Muslim-Melayu Pattani tidak boleh lebih tinggi dari pajak yang dipungut di negeri-negeri Malaya (Malaysia).
3. Pejabat pemerintah yang akan ditugaskan di Pattani harus jujur, sopan dan tegas.
 Kelonggaran-kelonggaran dan perubahan kebijakan tersebut yang diberikan pemerintah Thai adalah dalam kerangka otonomi khusus, berkat perjuangan Melayu Muslim Pattani yang solid dan tangguh. Tetapi pada masa Perdana Menteri Phibul Songkram (1938-1944) “pemimpin yang represif”, ia mengeluarkan kebijakan lagi yang bertujuan untuk men-Siamkan kelompok minoritas non-Buddhis di Pattani. Tahun 1940 mulai diberlakukan aturan-aturan kultural tertentu, seperti memakai pakaian ala barat agar pakaian muslim ditinggalkan; bahasa Melayu dilarang diajarkan di sekolah-sekolah negeri tetapi yang diwajibkan adalah menggunakan bahasa Thai; bahasa Thai juga diwajibkan sebagai bahasa pengantar dalam percakapan di pemerintahan atau pejabat pemerintah. Anak-anak muslim yang ingin masuk sekolah-sekolah pemerintah diwajibkan memakai nama-nama Thai; ketika hendak mencari pekerjaan di jajaran pemerintahan juga diwajibkan memakai nama-nama Thai.

 Otonomi yang diperjuangkan Muslim Pattani mengalami hambatan, setelah beralihnya kekuasaan dengan jalan kudeta dari Perdana Menteri Pridi Phanomyong yang demokratis kepada Perdana Menteri Phibul Songkram yang diktator 9 Juni 1946. Situasi ini membuat prihatin Ulama Haji Sulong dengan membuat gagasan-gagasan cemerlang untuk mempertahankan kemurnian Islam. ia dan teman-temannya membuat petisi yang dikenal dengan Petisi Tujuh, yang isinya :
1. Pengangkatan seorang Komisaris Tinggi untuk Pemerintah Daerah Pattani Raya dengan wewenang penuh untuk memecat, mensekors atau mengganti semua pejabat pemerintah yang bekerja di daerah itu, orang itu harus putra daerah dan dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilihan.
2. Delapan puluh persen (80%) dari pejabat pemerintah di daerah itu harus Melayu-Muslim (untuk mencerminkan rasio penduduk).
3. Bahasa resmi adalah bahasa Melayu dan bahasa Siam.
4. Bahasa Melayu mulai diajarkan di Sekolah Dasar.
5. Hukum Islam akan diberlakukan di daerah itu, dengan pengadilan Islam yang terpisah dan bebas dari sistem peradilan pemerintah.
6. Semua hasil pajak di daerah itu akan digunakan untuk kesejahteraan rakyat di daerah itu.
7. Majlis Ulama Provinsi diberi wewenang penuh untuk menerapkan hukum Islam.

 Bila dipahami secara mendalam, petisi Haji Sulong ini merupakan representasi dari keinginan dan cita-cita masyarakat Melayu-Muslim Pattani, agar pemerintah Thai memberikan otonomi khusus, bukan sebuah negara merdeka. Perjuangan ini merupakan usaha akhir setelah proses berjalan dan mengalami jalan buntu untuk memisahkan diri dengan Thai dan bergabung dengan Malaysia. Namun cita-cita untuk mempertahankan Melayu-Muslim yang bersendikan Islam yang mereka anut tetap akan mereka upayakan dalam bentuk reformasi dan otonomi di berbagai bidang kehidupan.
 Pemerintah Thai tidak bersedia untuk merundingkan soal tuntutan Melayu-Muslim itu, sebab jika pemerintah memenuhinya, berarti akan membuka peluang bagi kelompok minoritas etnis yang lain menuntut hal yang sama. Namun tuntutan dalam petisi tujuh itu tetap telah memberikan dampak positif terhadap posisi tawar menawar Melayu-Muslim di kemudian hari, karena petisi ini mampu menggalang dukungan dari kaum ulama secara kolektif dan juga dari kalangan politisi Melayu-Muslim. Kemudian dukungan juga datang dari sebagian anggota-anggota parlemen yang beragama Buddha. Menurut mereka tuntutan itu adalah hal yang wajar, karena kenyataannya tuntutan itu didasarkan atas penderitaan-penderitaan nyata yang tidak dapat ditanggulangi oleh sistem kekuasaan yang otoriter.

Ketika tuntutan itu disikapi dingin oleh Pemerintah Thai dan tidak mau berkompromi dengan Melayu-Muslim, maka Haji Sulong melakukan tekanan akan memboikot Pemilu yang akan diadakan akhir Januari 1948. taktik yang digunakan Haji Sulong dan teman-temannya adalah politik non-cooperative dengan pemerintah, bahkan sebagai motivasi mereka, bahwa perjuangan itu dikobarkan sebagai bentuk jihad fisabilillah, karena untuk mempertahankan identitas Islam. Sayangnya, rencana pemboikotan itu telah diketahui sebelum aksi itu dilakukan. Antisipasi Pemerintah Thai dengan penangkapan Haji Sulong bersama anak dan beberapa rekannya tanggal 16 Januari 1948. mereka dituduh berkomplot untuk mengubah Pemerintahan Kerajaan Thai, dan mengacam keamanan nasional. Kemudian pemilihan umum dapat berjalan lancar. Tahun 1952, setelah empat tahun dipenjara, Haji Sulong dibebaskan dari penjara. Penangkapan Haji Sulong itupun punya dampak positifnya, karena akhirnya persoalan otonomi dan perjuangan Muslim Pattani menjadi sorotan dunia internasional, yaitu PBB, Liga Arab dan Malay Nationalist Party, semua memberikan dukungan untuk memperjuangkan otonomi khusus di Provinsi-Provinsi di Thailand Selatan.

 Pada tahun 1950-an pemerintah membuat kebijakan baru dalam meninjaklanjuti proses integrasi. Bidang pendidikan, pemerintah Thai mengintervensi dalam pengaturan pondok pesantren tidak dapat dielakkan. Program perbaikan pondok dimulai dengan menawarkan bantuan keuangan. Tahun 1961 – 1966 di Pattani Raya terdapat 287 dari keseluruhan 486 pondok Pesantren ikut berpartisipasi dalam program ini. Namun para ulama pimpinan pondok mau mendaftarkan hanya sebatas mengharapkan bantuan. Dengan persyaratan mengubah kurikulum sesuai dengan pendidikan nasional, akhirnya para ulama menolak. Penolakan itu mengakibatkan pemerintah Thai mengancam kepada ulama dengan melarang menyelenggarakan pendidikan di pondok pesantren, karena dianggap melanggar hukum. Akibat ultimatum ini, para ulama kebanyakan terpaksa memberikan dukungan simbolis melalui pendaftaran “partisipasi terbatas” dengan harapan nantinya bisa disusun kembali kurikulum yang mampu mengurangi intervensi dari pemerintah.



ISLAM DI PHILIPINA DAN PERJUANGAN MELAYU MUSLIM MENUNTUT OTONOMI

 Masyarakat Melayu-Muslim Moro merupakan kelompok minoritas di Philipina (muslim hanya 5% dan Kristen 94%, sisanya lain-lain). Kebanyakan komunitas muslim hingga sekarang mendiami provinsi-provinsi di Philipina bagian Selatan, yaitu Kepulauan Mindanao, Sulu, basilan, Palawan, Balabac, tawi-tawi, Catabato, Lanao Selatan dan bahkan ada juga di jantung kota Manila Philipina antara lain di Quiapo. Bila dilihat dari kelompok etnik, maka Melayu-Muslim Moro terdiri dari Suku Maguindanao, Marano, Iranos, Sangir, Kalagon, Tausog dan Samal. Berdasarkan catatan sejarah bahwa Melayu-Muslim Moro sering terlibat dalam perjungan melawan kekuatan-kekuatan asing seperti Spanyol, Amerika Serikat, Jepang dan suku lain di Filipina sendiri sampai terbentuknya pemerintahan Philipina yang berpusat di bagian Utara.

 Islam masuk ke wilayah Philipina Selatan khususnya kepulauan Mindanao dan Sulu pada tahun 1380 M. seorang tabib dan ulama Arab bernama Syarif Aulia Karim al Makhdum dan Raja Baginda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan Islam di kepulauan tersebut. Menurut sejarah, Raja Baginda adalah pangeran dari Minangkabau Sumatera Barat (kerajaan Pagaruyung). Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulawan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga akhirnya Kabungsuan Maguindanao, Raja terkenal dari Maguindanao memeluk Islam. Dari sinilah Islam di wilayah ini dirintis. Pada masa itu sudah dikenal sistem pemerintahan dan kodifikasi hukumnya yaitu maguindanao Cole of law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan fathul al-Qareeb, Taqreeb al-Intifa dan Mir’atu al-Thulab. (Najib Saleebi : 34).

 Sejak masuknya Spanyol ke Philipina pada tanggal 16 Maret 1521, penduduk pribumi muslim telah mencium adanya maksud lain dibalik ekspedisi ilmiah Ferdinand de Magelhans. Ketika kolonial Spanyol menaklukkan wilayah Utara dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah Selatan, Sulu, Mindanao, Cotabato, dan Lanao Selatan. Mereka menemukan penduduk wilayah Selatan melakukan perlawanan sangat gigih, berani dan pantang menyerah. Tentara kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian untuk mencapai Mindanao-Sulu (Kesultanan Sulu takluk dengan Spanyol tahun 1876 M). mereka juga menghabiskan lebih dari 375 tahun masa kolonialisme dengan perang berkelanjutan melawan kaum muslim. Walaupun demikian, kaum muslim tidak pernah dapat ditundukkan secara total. Minimal semangat juang, kultur dan agama mereka.
Masa kolonial Spanyol menerapkan politik devide and rule (pecah belah dan kuasai) serta mision sacre (misi kristenisasi) terhadap orang-orang Islam. Bahkan orang-orang Islam distikmatisasi (diberi julukan yang berkonotasi buruk) yaitu sebagai “moor” (Moro), artinya orang yang buta huruf, jahat tidak bertuhan dan tukang bunuh. Padahal perlawanan bangsa Moro melawan penjajah itu dalam kerangka jihad fisabilillah. Perjuangan menentang kolonialis adalah perlawanan untuk melindungi integritas teritoral dan independensi (dar al-Islam) di mana Mindanao dan Sulu adalah wilayah kekuasaan Melayu Muslim. Sejak saat itu julukan Moro melekat pada orang-orang Islam.

 Kegagalan Spanyol dalam menundukkan Mindanao dan Sulu tetap menjadi bahan perbincangan koloni ini. Bahkan mereka menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari teritorialnya. Secara tidak sah dan tidak bermoral Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Sarikat seharga UUS 20 juta pada tahun 1898 M melalui Traktat Paris. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri mereka sebagai seorang sahabat baik dan dapat dipercaya. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates tanggal 20 Agustus 1898 M, isinya AS menjanjikan kebebasan beragama; kebebasan mengungkapkan pendapat dan kebebasan pendidikan bagi bangsa Moro. Namun Traktat tersebut hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak.

Amerika menjadikan Mindanao dan Sulu disatukan mejadikan wilayah Provinsi Moroland dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu tahun 1903. pada tahap selanjutnya tercatat pertempuran antara kedua belah pihak. Teofisto Guingona mencatat antara tahun 1914 – 1920M terjadi 19 kali pertempuaran. Kemudian antara tahun 1898–1902M, pada dasarnya Amerika ternyata sedang berusaha untuk membebaskan tanah dan hutan di wilayah tersebut untuk keperluar ekspansi para kapitalis. Kemudian antara tahun 1903 – 1913M dihabiskan Amerika utuk memerangi berbagai kelompok etnis bangsa Moro yang menentang mereka. Sejak tahun 1920-an itulah – kecuali Lanao yang gubernurnya orang Amerika – seluruh gubernur di provinsi-provinsi Muslim seperti Sulu, Zamboanga dan Cotabato dikuasai oleh orang-orang Kristen. Lalu muncul perlawanan terorganisir dari masyarakat Muslim Moro yang terekspresikan dalam perjuangan dengan istilah Jihad.

 Amerika mengubah strategi dengan menerapkan penjajahan melalui pendidikan dan pendekatan persuasif. Keinginan Amerika untuk memasukkan kaum muslim ke dalam arus utama masyarakat Philipina di Utara dan pada tahap selanjutnya kaum muslim mampu berasimilasi ke dalam tradisi dan kebiasaan orang-orang Kristen Utara. Seiring dengan semakin melemahnya kekuasaan politik para Sultan di Mindanao dan Sulu kemudian selanjutnya berpindahnya kekuasaan secara bertahap ke Manila.

 AS yang sangat kapitalis membuat kebijakan seperti Land Registration Act no. 496 (1902) yang menyatakan keharusan pendaftaran tanah dalam bentuk tertulis ditandatangani dan di bawah sumpah. Kemudian hukum tanah Philipine Commission Act no. 718 tanggal 4 April 1903M, yang menyatakan hibah tanah dari para Sultan, Datuk atau Kepala Suku Non-Kristen sebagai tidak sah, jika dilakukan tanpa ada wewenang atau izin dari pemerintah.
Demikian pula Land Act no.296 diberlakukan 7 Oktober 1903M, yang menyatakan semua tanah yang tidak didaftarkan sesuai dengan Land Registration Act no 496, maka status tanah tersebut adalah tanah negara. Kemudian ada pemberlakuan hukum yang sangat memberatkan lagi, yaitu The Mining Law of 1905 yang menyatakan bahwa semua tanah negara di Philipina sebagai tanah yang bebas terbuka untuk dieksplorasi. Pada prinsipnya ketentuan hukum tentang tanah tersebut merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah kaum muslim (tanah adat dan tanah ulayat) oleh pemerintah kolonial AS.

Kemudian muncul pemberlakukan Quino-Recto Collonialization Act no. 419 pada 12 Februari 1935M menandai upaya pemerintah Philipina yang lebih agresif untuk membuka tanah, menjajah Mindanao dan Sulu. Pemerintah berkonsentrasi pada pembangunan jalan dan survei-survei tanah negara, lalu pemerintah membuka pemukiman besar di Selatan untuk menampung ribuan pemukiman Kristen, dari Utara khususnya dibangun di Provinsi Cotabato lama. Bahkan senator Emanuel L. Quezon 1936–1944 M mengkampanyekan program pemukiman besar-besaran orang-orang Utara ke Selatan dengan tujuan menghancurkan homogenitas dan keunggulan bangsa Muslim Moro di Mindanao serta berupaya untuk mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Philipina Utara secara umum.

 Dilihat dari segi politik, sebenarnya pada saat itu politik Philipina sedang bergeser ke arah yang banyak melibatkan peran Gereja yang berujung pada proses Kristenisasi di basis wilayah Melayu Muslim Moro. Fusi antara lembaga pemerintahan transisi dengan gereja ini, walaupun tidak nyata secara struktural, namun nampak bagaimana gereja Katolik telah banyak memainkan peran politik dengan mengatasnamakan integrasi nasional.
Pada tahun 1946 Philipina mendapatkan kemeredekaan dari Amerika Sarikat dengan nama Republik Philipina, yang diambil dari nama Philip II, seorang Raja Spanyol ketika memulai penjajahan di pulau itu pada abad ke-16. Namun kemerdekaan ini tidak banyak memberi arti bagi bangsa Moro. Karena hilangnya penjajah Amerika dari Philipina muncul penjajah baru Pemerintah Philipina.

 Perjuangan bangsa Moro pada periode ini memasuki babak baru dengan terbentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju seperti Muslim Independent Movement (MIM) pada tahun 1968 M. Anshar el_Islam, Moro National Libration Front (MNLF) pada tahun 1971 M, Moro Islamic Libration Front (MILF), MNLF reformasi dan BMIF. Namun sayangnya gerakan perlawanan yang terorganisir ini memicu terpecahnya kekuatan bangsa Moro menjadi beberapa faksi yang akhirnya melemahkan mereka. Perjuangan muslim Moro secara garis besar dibagi dua :
1. Kelompok moderat, yang didukung oleh mayoritas penduduk berusaha mempertahankan diri sebagai masyarakat muslim, tetapi mereka mau masuk dalam sistem politik Philipina demi mencapai tujuan mereka dengan menggunakan cara-cara yang legal dan konstitusional. Mereka ikut juga berpartisipasi dengan pemerintah untuk menemukan penyelesaian damai terhadap masalah Muslim Moro. Kelompok pertama ini setuju dengan memperjuangkan otonomi.
2. Kelompok yang berusaha memperjuangkan kemerdekaan, dengan cara mencari perhatian dunia internasional, khususnya negara-negara Islam, tentang nasib mereka yang tertindas dan dijajah. Langkah lain adalah mereka melakukan perang grilya secara intensif dan sporadis untuk melemahkan Pemerintah Philipina yang berpusat di Utara.

 Tekanan makin gencar ketika Ferdinand Marcos berkuasa (1965-1986 M). Dibandingkan dengan masa pemerintahan semua Presiden Philipina dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos, maka masa pemerintahan Ferdinand Marcos merupakan masa pemerintahan paling represif bagi bangsa Moro. Pembentukan Muslim Idependent Movement (MIM) pada tahun 1968 M dan Moro Libration Front (MLF) pada tahun 1971 tak bia dilepaskan dari sikap politik Marcos yang lebih dikenal dengan Presidential Prokalmation no. 1081 itu.

Pada tahun 1976 M, Pemerintah Philipina dengan Melayu Muslim Moro – dalam hal ini diwakili oleh Moro National Libration Front (MNLF) pimpinan Nur Misuari yang berideologikan Nasionalis-Sekuler – menandatangani hasil kesepakatan dari Tripoli Agreement. Intinya pemerintah menciptakan kesatuan politik untuk memperkuat pemerintah lokal untuk mencapai bangsa yang mandiri dan otonom. Fungsinya antara lain ; pertama, mendorong tercapainya perdamaian dan kestabilan kedua belah pihak. Kedua, menempatkan kembali orang-orang yang sebelumnya menyingkir ke tempat lain agar kembali ke wilayahnya semula. Dan ketiga, mempercepat pembangunan wilayah di bidang sosial ekonomi.

 Perjuangan Melayu-Muslim Moro selanjutnya, MLF sebagai induk perjuangan bangsa Moro akhirnya terpecah. Pertama, Moro National Libration Front (MNLF) pimpinan Nurululhaj Misuari yang berideologikan Nasionalis-Sekuler. Kedua, Moro Islamic Libration Front (MILF) pimpinan Selamat Hasyim, seorang ulama yang murni berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Philipina Selatan. Namun dalam perjalanannya, ternyata Moro National Libration Front (MNLF) pimpinan Nurululhaj Misuari mengalami perpecahan kembali menjadi kelompok MNLF reformasi pimpinan Dimas Pundato tahun 1981M, dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurazak Janjalani tahun 1993M. Tentu perpecahan ini memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan akibat terserak-seraknya kekuatan muslim.

 Kebijakan Pemerintah Philipina dari periode satu dengan yang lain pada dasarnya tidak berubah, yaitu ; Pertama, pemerintah masih memegang pandangan kolonial yaitu “Moro yang baik adalah Moro yang mati”. Kedua, kaum muslim adalah warga negara kelas dua di Philipina. Ketiga, kaum muslim adalah penghambat pembangunan. Keempat, masalah mengintegrasikan mereka dalam arus utama (mainstream) di tubuh politik nasional (Abhoun Lingga : 9-11). Karena itu untuk menyelesaikan masalah Moro, Pemerintah Manila mengambil kebijakan strategis sebagai berikut :

1. Kebijakan “cari dan hancurkan” (search and destroy policy) atau militerisasi. Kebijakan ini diterapkan dalam kasus-kasus kriminal yang dilakukan oleh orang Muslim Moro. Dan ini dilakukan tanpa memperhatikan hak-hak sipil warga dan batas-batas konstitusional.
2. Kebijakan diskriminasi dan isolasi terhadap hak-hak bernegara, priveleges, penugasan penunjukkan, perwalian dan lain-lain. Ini dapat dilihat dari tidak adanya warga muslim yang menduduki jabatan strategis di tubuh Pemerintahan Philipina.
3. Kebijakan pemusnahan seperti pembunuhan membabi-buta dan pembantaian penduduk sipil sebagaimana yang terjadi dalam pembantaian Kawit, Jabidah, Masjid Mannili, pembakaran Kota Jolo.
4. Kebijakan pemerintah untuk memindahkan orang-orang Kristen dari Luzon dan Provinsi Visayan ke daerah muslim serta mengubah komposisi populasi dan demografi di wilayah muslim tersebut. Hal ini pernah terjadi di Kota General Santos, Wao, Lanao del Sur, Edcor de Lanao del Norte.
5. Kebijakan memecah belah, misalnya pemimpin Muslim Moro seringkali diadu-domba satu sama lain. Langkah-langkah lain dengan cara pemecahan dan pembaginan provinsi serta unit politik muslim. Kebijakan ini semakin memarginalkan posisi muslim, baik secara politik maupun ekonomi.
6. Kebijakan membujuk Muhajidin Moro. Melalui kebijakan ini para Mujahidin dibujuk untuk turun gunung, meneyerahkan senjata mereka dan tinggal di kota. Selama ini kebijakan tersebut telah berhasil mengurangi secara drastis kekuatan Moro National Libration Front (MNLF).

Posting Komentar

2Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*