1. PENGERTIAN SYUF’AH
Kata syuf’ah, huruf syiin diharakati dhammah dan huruf fa’ diberi harakat sukun, adalah berasal dari akar kata syaf’u berarti zauj (sepasang atau sejodoh).
Menurut istilah syara’, syuf’ah ialah memindahkan hak kepada rekan sekongsi dengan mendapat ganti yang jelas.
2. LAHAN SYUF’AH
Dari Jabir bin Abdullah ra ia berkata, “Nabi saw pernah memutuskan syuf’ah (pemindahan hak) itu adalah dalam semua hal yang tidak dapat dibagi. Karena itu, kalau terjadi pembatasan dan diketahuinya dengan jelas tentang pengeluaran, maka tidak ada syuf’ah.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2028, Fathul Bari IV: 436 no: 2257 dan lafadz ini milik Imam Bukhari, ’Aunul Ma’bud IX: 425 no: 3497, Ibnu Majah II: 835 no: 2499 dan Tirmidzi II: 413 no: 1382 tanpa kalimat terakhir).
Barangsiapa yang mempunyai kawan sekongsi dalam hal tanah, atau rumah, atau kebun dan semisalnya, maka ia tidak boleh menjualnya sebelum ia tawarkan kepada rekan sekongsinya. Jika ternyata ia telah menjualnya sebelum ditawarkan kepada kawannya, maka sang kawan sekongsi itu tetap lebih berhak membelinya:
Dari Jabir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mempunyai (kebun) kurma, atau sebidang tanah, maka ia tidak boleh menjualnya sebelum menawarkannya kepada rekan sekongsinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2021 dan Ibnu Majah II: 833 no: 2492 dan Nasa’i VII: 319).
Dari Abu Rafi’ ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Kawan sekongsi itu lebih berhak atas apa yang dekat dengan dia.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2027 dan Ibnu Majah II: 834 no: 2498).
3. HAK SYUF’AH MILIK TETANGGA, BILA ANTARA KEDUANYA ADA HAK SEKONGSI
Manakala di antara dua orang bertetangga ada hak milik bersama, misalnya berupa jalan, ataupun air, maka bagi masing-masing memiliki hak syuf’ah yang harus ditunaikan rekan sekongsi. Jadi, seorang di antara keduanya tidak boleh menjual hak milik bersama sebelum mendapat izin dari tetangganya; jika ia terlanjur menjualnya tanpa izin sang tetangga, maka tetangga tersebut tetap lebih berhak membeli barang yang dijual itu:
Dari Jabir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tetangga itu lebih berhak mendapatkan hak syuf’ah tetangganya. Jika ia sedang bepergian, harus ditunggu untuk menerima syuf’ah, bila jalan keduanya satu.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2023, ’Aunul Ma’bud IX: 429 no: 3501, Tirmidzi II: 412 no: 1381 dan Ibnu Majah II: 833 no: 2494).
Dari Abu Rafi’ bahwa Nabi saw bersabda, “Tetangga itu lebih berhak atas apa yang dekat dengan dia.” (Hasan Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2024, Fathul Bari IV: 437 no: 2258, ‘Aunul Ma’bud IX: 428 no: 3499, Nasa’i VII: 320 dan Ibnu Majah II: 833 no: 2495).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 729 - 730.