Kedua hal ini termasuk hibah (pemberian) yang berlaku sementara waktu, tidak menjadi hak milik selama-lamanya.
Kata ‘umra, Huruf ’ain diharakati dhammah dan mim disukunkan dan huruf ra’ disambung dengan alif maqshurah, terambil dari kata al-‘Umr. Sedangkan ruqba sepatron dengan umra terambil dari kata al-muraaqabah. Mereka, banga Arab biasa mengerjakan hal ini pada masa jahiliyah, yaitu seorang memberi rumah kepada orang lain dengan pernyataan, “Saya halalkan rumah ini untukmu selama hayatmu di kandung badan oleh sebab itu dinamakan Umra.” Demikian pula yang dikatakan pada ruqba, karena masing-masing orang yang melakukan umra dan ruqba sama-sama menunggu kapan ajal orang yang diberi rumah tiba agar rumah yang dimaksud kembali lagi kepadanya.
2. STATUS DAN KEDUDUKAN UMRA DAN RUQBA
Nabi saw menganggap penentuan jangka waktu ini adalah sesuatu yang tidak terpakai, dan Beliau memutuskan bahwa masing-masing dari umra dan ruqba menjadi hak milik penuh si penerima dan menjadi harta warisan bagi ahli warisnya, tidak bisa kembali lagi kepada pihak pemberi hibah:
Dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Umra itu boleh (halal) bagi orang yang diberi umra dan Ruqba (juga) boleh (halal) bagi orang yang diberi ruqba.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1930, Ibnu Majah II: 797 no: 2383, Tirmidzi II: 403 no: 1362, ‘Aunul Ma’bud IX: 472 no: 3541 dan Nasa’i VI: 270). Darinya (Jabir bin Abdullah) ra, ia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa memberi umra kepada orang lain untuknya dan untuk keturunannya, maka sesungguhnya pernyataannya itu telah memutuskan haknya terhadap umra tersebut. Maka umra itu adalah milik pihak yang diberi umra dan keturunannya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1927, Muslim III: 1245 no: 21/1625 dan Ibnu Majah II: 796 no: 2380).
Darinya (Jabir bin Abdullah) ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Jagalah hartamu buat kamu, dan janganlah kamu merusaknya, karena sesungguhnya orang memberi umra, maka umra itu adalah milik pihak yang diberi umra selagi hidupnya dan sesudah matinya, dan milik keturunannya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 1388 dan Muslim II: 1246 no: 26 dan 1625).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 723 - 724.